“Setan,” tulis Imam Ibnul Jauzi dalam Shaid al-Khatir, “menyusupkan ke dalamnya tipu daya yang sangat samar. Yakni melarang kaum beriman mengumpulkan harta, menjauhkan para pencari akhirat darinya dan menyuruh orang yang bertaubat bersegera mengembalikan hasil kezhalimannya (pada masa lalu).”
“Ia,” lanjut sang Imam menyampaikan nasihat, “terus-menerus menyuruhnya untuk zuhud, memerintahkannya agar meninggalkan dunia dan menjauhkannya dari usaha-usaha yang mendatangkan uang, demi memperlihatkan kesalahannya dan agamanya.”
“Tipu daya setan yang sangat samar ini mengandung beberapa makar yang samar pula. Kadang, dia berbicara lewat lisan seorang syaikh (ustadz atau kiyai) yang menjadi anutan orang yang bertaubat.” tutur Imam Ibnul Jauzi mengingatkan kaum Muslimin.
Dalam menyikapi harta, kaum Muslimin terbagi dalam dua kubu ekstrem dan satu kubu moderat. Dua kubu ekstrem ini salah, dan satu kubu moderat lainnya lebih mendekati kebenaran meski jumlahnya sangat sedikit.
Pertama, sekelompok kaum Muslimin yang mendewakan kekayaan sehingga mengumpulkan harta dengan berbagai cara tanpa menghiraukan halal dan haram. Semua dilibas. Semua dilakukan. Halal tak lagi penting. Haram pun diterjang. Asalkan mendapatkan harta, lalu menjadi orang kaya raya.
Kedua, beberapa kelompok mengharamkan kekayaan karena menganggapnya sebagai fitnah. Akhirnya, kaum Muslimin menjauhi kekayaan dan benar-benar mejadi kelompok yang miskin dan lemah hingga mudah bergantung dan diperalat oleh kekuatan lain di luar Islam.
Kelompok ini menggunakan jargon zuhud secara salah kaprah dan menggunakan kisah-kisah kemiskinan sahabat sebagai pembenaran, bukan kebenaran. Jumlahnya banyak. Sering pula menebeng pada pelabelan kaum sufi yang anti-dunia.
Sedangkan yang paling layak untuk diperjuangkan ialah berada di pertengahan antara keduanya. Bahwa harta sifatnya netral. Tergantung siapa yang menggunakannya. Ketika harta berada di tangan orang shalih, ia akan dimanfaatkan untuk ibadah dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Sebaliknya, tatkala dikuasai oleh orang buruk, harta hanya menimbulkan kerusakan yang nyata di berbagai bidang.
Di sinilah terjadi pertarungan.
Sebagai kaum Muslimin, kita harus meyakini bahwa rezeki sudah dijamin oleh Allah Ta’ala. Kita diwajibkan bekerja sebagai sarana ibadah. Kita diwajibkan dan disunnahkan beribadah dengan harta sebagaimana disebutkan dalam banyak syariat-Nya.
Maka kita harus mengupayakan harta yang halal dengan cara yang halal pula. Sebab harta akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat; darimana mendapatkannya dan bagaimana mengeluarkannya.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]
*Beli buku Shaidul Khatir tulisan Imam Ibnul Jauzi di 085691548528