“Setelah kembali ke Ninawa,” tulis Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan, “seluruh kaumnya justru telah beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Berapakah jumlahnya? Lanjut penulis shalih asal Yogyakarta ini, “Jumlah mereka lebih dari 100.000 orang kiranya.”
Kisahnya dimulai ketika sang Nabi merasa putus asa. Sekian lama berdakwah, semakin banyak yang menolak. Semakin beragam strategi yang digunakan, tak jarang pula lahir pembangkangan dari kaumnya. Alih-alih diterima, sang Nabi hanya ditertawakan, dicemooh, dihina, diumpat, dimaki, dan segala jenis keburukan serta fitnah murahan lainnya.
Maka atas ijtihad pribadinya, sang Nabi pun hijrah. Padahal, seorang Nabi hanya boleh melakukan suatu perbuatan atas perintah Allah Ta’ala. Pasalnya, di dalam ujian pembangkangan dari kaumnya itu, Allah Ta’ala selipkan bagi sang Nabi pelajaran kesabaran sebagimana pendahulu dan penerusnya kelak.
Sebagaimana kita ketahui alur kisahnya, sang Nabi pun menempuh jalur laut dalam upaya ‘kaburnya’ dari medan dakwah. Malang, perahu yang ditumpanginya kepenuhan muatan, cuaca pun membadai. Lalu diundi; siapa pun nama yang muncul, maka ia harus dicemplungkan ke laut. Sebanyak tiga kali, muncullah nama itu. Yunus bin Mata. Ironi sebenarnya. Pasalnya, sang nahkoda kapal pun menyaksikan bahwa Yunus adalah orang baik. Tapi, siapa yang bisa melawan Kehendak Allah Ta’ala?
Ketika dilemparkan ke laut itulah, Allah Ta’ala membawa sang Nabi kepada episode lain. Ditelan ikan Nun. Al-Qur’an menyebutkannya dengan ‘Tiga Kegelapan’. Ialah gelapnya malam, gulitanya laut, dan kelamnya perut ikan. Sebagian ahli tafsir justru mengatakan, Yunus ditelan ikan kecil, dan ada ikan lebih besar yang menelan ikan kecil itu.
Di dalam perut ikan itulah, Yunus menyadari kesalahan dirinya. Hingga meluncur deraslah kalimat pertaubatan yang sekaligus menjadi doa dan pujian kepada Allah Ta’ala. Berulang kali, harap-harap dikabulkan, dan cemas yang mendalam.
Tiada Ilah yang haq selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang yang zhalim. (al-Anbiya’ [21]: 87)
Sebuah doa yang paripurna. Tidak merinci-merinci, mendesak-desak, meminta disegerakan, apalagi dibayangkan layaknya ajaran beberapa oknum akhir-akhir ini. Namun, inilah pinta terbaik yang darinya lahir keberkahan yang amat melimpah.
Doa sang Yunus dikabulkan. Ia pun dikeluarkan dengan cara yang amat memesona; bukan dimuntahkan di laut hingga ia harus berenang, tetapi dimuntahkan dengan perlahan di sebuah daratan, di bawah pohon Yaqthin. Ialah sejenis labu yang sekaligus menaungi Yunus dari panas dan hujan sebelum sadarkan diri.
Ketika mulai sadarkan diri dan naluri manusianya merasa lapar, pohon sejenis labu itulah yang disantapnya sebagai panganan yang dipenuhi gizi.
Masih menurut Salim dalam buku yang sama, “Nabi Yunus pun segar kembali, bersemangat, dan berjanji kepada Allah untuk nanti teguh, istiqamah, dan tak menyerah dalam berdakwah kepada kaumnya; apa pun yang terjadi ke depannya.”
Berkahnya, lantaran doa nan sederhana dengan muatan penyesalan yang mendalam dan pengakuan tulus akan kemahaagungan Allah Ta’ala, sesampainya di Ninawa, tempatnya berdakwah, 100.000 orang lebih telah beriman kepada Allah Ta’ala. [Pirman/Kisahikmah]