Ada teladan yang amat mahal nilainya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam setiap jenak kehidupan beliau. Selain sebagai Utusan dan Nabi Allah Ta’ala, beliau adalah seorang panglima perang, kepala negara, ayah teladan, suami paling romantis dan baik pada istrinya, saudagar yang sukses dan predikat lainnya.
Karenanya, beliau layak diteladani oleh siapa pun, termasuk mereka yang berlainan agama. Itulah di antara makna “uswatun hasanah” dan “rahmatan lil ‘alamin” yang disematkan langsung oleh Allah Ta’ala mengiringi nama beliau.
Tak terkecuali dalam berjalan, menikah, makan, tidur, duduk, maupun ketika menyampaikan khutbah. Ini amat penting, sebab akhir-akhir ini, amat banyak khatib yang hanya mampu membuat jamaah shalat tertidur hingga keluarkan air liur, lalu keluar dari masjid dengan tak mendapatkan ilmu sedikit pun.
Padahal, terkait bagaimana menyusun materi khutbah, hingga menyampaikannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah tunai sampaikan teladan dalam hal ini.
Ketika berkhutbah, Nabi amat menjiwai apa yang beliau sampaikan, hingga jamaah tak beranjak dari setiap detail ekspresi wajahnya, kemudian tergerak untuk beramal lebih giat lagi. Salah satu riwayat yang menjelaskan hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jabir bin Abdullah.
Ketika menyampaikan khutbah tentang Hari Kiamat, tutur Jabir, “Mendidih kemarahannya, meninggi suaranya, dan merah matanya.” Itulah ekspresi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam saat menyampaikan khutbah. “Seakan-akan,” lanjut Jabir, “Rasulullah sedang memberi komando kepada pasukan perang dengan berteriak, ‘Pagi dan petang untuk kalian semua.’”
Di antara sebabnya, karena Rasulullah mengetahui detail bagaimana kelak terjadinya Hari Kiamat sehingga mampu menjiwai. Saat menjiwai itu, suara, mata dan ekspresi tubuh pun akan mengikuti secara spontan.
Selain itu, saat menyampaikan khutbah atau nasihat, kebersihan hati amatlah ditekankan. Maka tatkala nasihat ataupun khutbah yang disampaikan tak berbekas dalam hati pendengar, sebabnya sebagaimana perkataan Hasan al-Bashri, “Sungguh kata-katamu ini, boleh jadi dalam hatimu terdapat penyakit, ataukah yang sakit itu hatiku.”
Kemudian hal terakhir yang amat penting untuk diperhatikan adalah aspek amal. Bahwa nasihat nan menghunjam bukan terletak pada pilihan diksi dan retorika semata. Ia bisa mengerakkan banyak pendengar hanya jika nasihat itu telah dipraktikkan oleh yang menyampaikannya.
Jika hal terakhir ini tidak dikerjakan, ancaman Allah Ta’ala dalam kalam-Nya amatlah jelas, “Amat besar kemurkaan Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan.” [Pirman]