Batalnya Pernikahan Sang Dokter Demi Ibunya

0
ilustrasi @prcarloselias

Sang ibu membesarkan anaknya ini seorang diri. Ia, resmi menjanda selepas suaminya wafat. Sedih. Pilu. Berat. Tapi, hidup harus dilanjutkan. Anaknya juga harus terus dibiayai. Pikirnya, sang buah hati adalah amanah. Karenanya, amanah itu harus ditunaikan hingga akhir hayat.

Maka, segala macam cara halal nan bagus ditempuh oleh sang ibu. Apa pun dikerjakan. Demi sesuap nasi, sekeping receh; untuk kelangsungan hidup dan pendidikan anak semata wayangnya itu. Sebagai yang utama, sang janda mantap dengan pekerjaan tukang cuci. Berkeling dari satu lokasi ke lokasi lainnya dengan modal dua tangannya.

Atas jerih payah dan pertolongan Allah Ta’ala, dari menjadi tukang cuci baju inilah, ia berhasil mengumpulkan uang, termasuk membiayai sekolah anaknya. Qadarullah, sang anak pun berprestasi. Lelaki semata wayangnya ini berhasil lulus dari jurusan kedokteran.

Tak sukar bagi sang dokter untuk mendapatkan tempat pekerjaan yang tetap. Pun, terkit jodoh. Kisahnya, dalam sekali melamar, tak ada satu pun alasan bagi sang calon istri dan keluarganya untuk menolak pinangan sang dokter. Sepakat. Bulat.

Keduanya pun langsung menetapkan tanggal pernikahan, lengkap dengan jadwal resepsi yang direncanakan agak mewah. Saat itu, dua insan yang tengah dimabuk cinta itu seakan melayang imajinasinya. Bahagia. Tak tergambar.

Namun, mendekati masa resepsi, sang calon istri memanggil calon suaminya. Ada hal penting yang hendak disampaikan. Dengan gegas, sang dokter pun menyambangi rumah calon mertuanya itu. Bagai simalakama, sang dokter mendapati sebuah permintaan aneh, “Mas, demi kenyamanan, saya punya satu permintaan. Tolong, jangan ajak ibumu di resepsi pernikahan kita.”

Bingung. Tapi, ia sudah terlanjur cinta. Akankah dua hal yang seharusnya bisa disatukan ini harus dipisah hanya karena sebab yang tak jelas? Maka, dalam galaunya, ia mendatangi sang dosen bijak yang dulu menjadi tempat curhatnya.

Di hadapan sang dosen, lelaki muda, tampan, dan gagah ini menuturkan persoalan yang dihadapi. Tentang ibunya yang tukang cuci baju, rencana pernikahan, dan permintaan sang calon istri yang terdengar aneh ini. Singkat saja, sang dosen berkata, “Pulanglah, cuci tangan ibumu. Sekarang juga.”

Ia pun pamit. Segera pulang. Lalu didatangi sang ibu yang tengah santai menunggu kepulangan anak semata wayang yang amat disayanginya itu. Dalam jenak, ia menuntun ibunya. Mengambil air hangat, sedikit sabun, dan kain pembersih.

Alangkah terkejut sang dokter. Tangan ibunya itu melepuh. Air dan deterjen kimia yang kerap digunakan untuk mencuci baju itu, sempurna melukai kedua tangan lembut dan hangat sang bunda. Sang dokter pun tak kuasa menahan air mata ketika menyaksikan ibunya melelehkan air mata, menahan sakit dari tangan lukanya itu.

Kelar melakukan perintah sang dosen, sang dokter pun segera mengambil ponsel. Menghubungi calon istrinya. “Saya sudah mengambil keputusan. Jika ibu tidak diizinkan hadir dan bersanding denganku di acara resepsi, lebih baik pernikahan kita batal.”

Bagaimana pun, sang dokter tak mungkin memenangkan permintaan aneh calon istrinya itu. Apalagi, sang ibu telah memberikan segalanya kepadanya. [Pirman/Kisahikmah]

Rujukan: Majalah Inspirasi Tarbawi 310. *Ditulis bebas

Artikel sebelumnyaSekelumit Kisah Pilu Dakwah di Afrika
Artikel berikutnyaMinta Dunia, Malah Diberi Akhirat