“Ketika saya berkunjung ke sebuah negara Islam di Afrika,” tutur Syeikh Mu’adz al-Khathib dalam kata pengantar buku Keajaiban Jihad Harta tulisan Dr. Nawwaf Takruri, “saya sangat sedih ketika melihat kondisi seorang dai (di sana).”
Apakah sebenarnya yang membuat syeikh Mu’adz amat bersedih melihat keadaan seorang dai dalam sebuah perjalanan dakwah di benua hitam ini?
“Setiap minggunya,” lanjutnya sampaikan kisah, “ia harus menempuh puluhan kilometer dengan alat transportasi yang beragam.” Yang dimaksud beragam, sebab tak ada kendaraan yang dimiliki oleh sang dai. Sehingga, ia harus berdakwah dengan menumpang kendaraan apa pun yang ditemuinya di perjalanan menuju lokasi dakwahnya.
“Adakalanya, ia menunggang kuda, sepeda, mobil,” bahkan yang amat sering, “kebanyakannya, perjalanannya harus ditempuh dengan berjalan kaki untuk mencapai desa terpencil yang jauh berada di pelosok guna menyebarkan ajaran Allah Ta’ala di sana.”
Maka beruntunglah dai di negeri ini, khususnya yang berada di sekitar Ibu Kota dan beberapa kota di pulau Jawa. Kita masih dimudahkan dengan berbagai macam alat transportasi. Bahkan, tak sedikit di antara dai-dai kita yang memiliki kendaraan pribadi untuk dimanfaatkan di jalan dakwah.
Bukan hanya soal kendaraan, keadaan dai di Afrika diperparah dengan kondisi ekonomi. “Semua itu diperparah dengan penghasilan ekonominya yang terlalu kecil.” Berapa sebenarnya penghasilan sang dai? “Dalam satu bulan, ia hanya mendapatkan belasan dolar, tidak lebih.”
Tidak lebih dari 150-an ribu rupiah dalam satu bulan. Bahkan, jika digunakan untuk biaya transportasi pun tidak akan cukup. “Itu pun,” lanjut syeikh yang menjadi salah satu imam dan khatib di Masjid Umayyah Damaskus Suriah ini, “tidak cukup untuk biaya perjalanannya yang begitu jauh.” Alhasil, pungkas beliau sampaikan sekelumit kisah pilu ini, “Tak jarang, aktivitas mengajarnya tersendat-sendat karena dukungan dananya tidak memadai…!”
Alangkah beratnya berdakwah. Ada begitu banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Baik uang, tenaga, potensi, bahkan nyawa. Karena itu pula, ada balasan agung bagi para dai. Bahkan, di dalam al-Qur’an disebutkan, tidak ada perkataan yang lebih baik selain mengajak kepada Allah Ta’ala dan amal shalih.
Karena itu, bergegaslah. Berdakwahlah dengan apa yang kita bisa. Sebab, kita semua adalah dai. Sebab, dakwah adalah aktivitas mulia para Nabi dan Utusan Allah Ta’ala. Dan, dakwah itu; akan terus berjalan, dengan atau tanpa kita terlibat di dalamnya. [Pirman/Kisahikmah]