Kisah nyata ini terjadi di salah satu kota di provinsi Sumatera Utara. Bahagia yang dialami oleh sang ibu mendadak menjadi duka dan petaka saat dua anak kembarnya baru berusia tujuh bulan. Semakin menyayat hati ketika penyebab utama dari duka itu adalah sang suami, ayah dari dua buah hatinya.
Laki-laki ini harus digelandang ke kantor kepolisian terdekat. Kepada dua anaknya yang belum genap satu tahun, dia melampiaskan kekesalan. Padahal, setelah dikonfirmasi, tiada sebab yang jelas. Hanya, si kecil yang belum bisa apa-apa itu menangis. Kencang. Terus menerus.
Sedangkan kala itu, sang istri tengah bekerja. Di luar. Tidak di rumah.
Didorong rasa kesal yang semakin hilangkan kesadaran lantaran bisikan setan terlaknat, laki-laki yang seharusnya mengayomi sang anak itu justru melampiaskan kemarahannya. Sang bayi kembar ditampar, berkali-kali, di bagian kepala dan wajahnya.
Saat ketahuan oleh tetangga sekitar, kejadiannya sudah tidak memungkinkan. Meski dilarikan ke rumah sakit terdekat, satu anaknya dinyatakan meninggal karena mengalami sakit dan gangguan peredaran darah akibat cubitan dan tamparan berkali-kali.
Sedangkan saudara kembarnya masih meringkuk di ruang ICU. Perdarahan di bagian kepala. Na’udzubillah.
Laki-laki yang entah layak dipanggil ayah atau tidak ini, akhirnya dibawa ke kantor kepolisian terdekat untuk dimintai keterangan. Sang istri berkata saat dimintai konfirmasi, “Saya kerja. Gak tahu ya. Dibilang waras, kayak gila. Dibilang gila, sepertinya waras.”
Hidup semakin rumit di akhir zaman ini. Nilai-nilai kebaikan semakin kabur. Keburukan merajalela di banyak bidang kehidupan.
Kejahatan pun semakin marak dan amat mudah dijumpai di banyak lokasi dengan ragam varian dan modusnya. Ayah membunuh anak kandungnya. Anak membinasakan orang tuanya. Pembantu memerkosa majikannya. Majikan berlaku kasar dan zalim kepada pembantunya. Dan lain sebagainya.
Karenanya, kita tidak boleh bersikap acuh. Harus ada upaya aktif sebagai seorang Muslim yang juga menjadi anggota masyarakat. Hendaknya kita berusaha untuk menjadi pelita, meski hanya sebagai lilin, agar gulita segera sirna dan berganti cahaya.
Semoga dengan belajar peduli, hisab kita di akhirat dipermudah. Mulailah dari yang paling kecil. Dari yang bisa kita jangkau; diri sendiri dan keluarga.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]