Islam bukan teroris. Mujahid bukan teroris. Jihad bukan teroris. Islam sangat membenci seluruh tindakan teror, apa pun dalihnya. Bahkan, dalam aturan perang Islam, wanita, anak-anak, orang tua, hingga pepohonan dan hewan ternak saja tidak boleh dibunuh. Apalagi nyawa manusia yang mulia derajatnya?
Membunuh satu nyawa dengan cara yang tidak hak, disebutkan dalam al-Qur’an sebagai membunuh seluruh manusia di muka bumi. Ialah tindakan bodoh, tidak beradab, dan sangat tidak manusiawi. Pelakunya berhak mendapat pembunuhan balik yang disebut qishash.
Seorang yang membunuh orang lain di keramaian dengan niat menebarkan ketakutan kepada masyarakat, dosanya amatlah banyak. Selain berpeluang diikuti oleh orang lain, fitnah yang ditimbulkan lantaran membawa nama Islam adalah kejahatan yang amat besar dosanya.
Tidakkah mereka memikirkan ini dengan baik?
Jika tindakan demikian termasuk jihad, mengapa ada begitu banyak pakar Islam bahkan ahli syariat yang menentangnya? Mungkinkah para doktor-doktor yang banyak menelaah tentang ajaran agung ini begitu bodoh hingga tidak memahami dan mendukung tindakan yang mereka sebut dengan jihad ini? Ataukah otak para teroris dan jaringannya itu sedemikian canggih hingga tak mampu digapai derajatnya oleh banyaknya ahli agama Islam di negeri ini?
Kepada Syekh Mutawalli Sya’rawi, datanglah seorang pemuda yang memiliki semangat berlebihan dalam dakwah, versinya. Ia melontarkan pertanyaan yang tak biasa kepada ulama besar dan mantan Menteri bagian Wakaf di Mesir ini, “Bolehkah saya melakukan teror bom di tempat-tempat maksiat?”
“Apa tujuan Anda mengebom tempat-tempat maksiat itu?” tanya Syekh Sya’rawi.
“Supaya orang-orang yang bermaksiat di tempat tersebut segera masuk ke dalam neraka!” jawabnya dipenuhi umpatan dan kebencian.
“Jika demikian,” jawab Syekh Sya’rawi kalem, “kamu satu tujuan dengan setan yang ingin buru-buru dan cepat-cepat menjerumuskan manusia ke dalam api neraka.”
Orang-orang yang terjerumus dalam maksiat, sejatinya harus kita kasihani. Mula-mula, kita harus membenci perbuatan dosa, bukan mencaci pelakunya. Setelahnya, panjatkan doa terbaik kepada Allah Ta’ala, agar mereka diberi hidayah, agar kita diberi kekuatan untuk menjauhi perbuatan dosa tersebut, dan diberi kemampuan untuk mendakwahi mereka.
Selanjutnya, kita merumuskan strategi agar benar-benar bisa menyentuh hati para pelaku maksiat hingga kembali ke dalam pelukan fitrah Islam. Ada begitu banyak contoh, betapa kelembutan para dai telah berhasil meluluhkan hati paling keras sekali pun hingga menjadi sosok Muslim dan pembela umat Islam.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]