Dengan tidak bermaksud mengecilkan upaya kebaikan yang ditempuh oleh saudara-saudara sesama Muslim lainnya, ada yang perlu diluruskan sebagai sebuah bentuk budaya saling menasihati antar sesama umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Ialah nasihat dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang.
Ketika kalimat ‘Setiap Muslih Harus Kaya’ digaungkan sedemikian rupa, pantulannya amat bisa kita rasakan. Sayangnya, semangat harus kaya itu tidak diimbangi dengan akidah dan akhlak yang tepat hingga terkesan mendemo apa yang sudah Allah Ta’ala taqdirkan, bahkan tak jarang menghalalkan segala cara demi tergapainya predikat kaya dalam hal harta dunia.
Pemahaman ini semakin parah ketika yang berkebalikan langsung dianalogikan sebagai akibat serupa. Jika kaya, dia Muslim. Jika miskin, Muslimnya bermasalah. Jika sedikit diuji terkait harta, imannya sempurna. Sedangkan yang banyak mendapat ujian terkait harta, imannya ada yang cacat. Serta anggapan-anggapan lainnya yang amat nyata kelirunya.
Seorang sufi besar, Imam al-Harits al-Muhasibi yang merupakan guru dari Imam Junayd al-Baghdadi berkata, “Iman orang kaya tidak layak dimiliki oleh orang miskin. Dan iman orang miskin tidak layak dimiliki oleh orang kaya.”
Allah Ta’ala telah menaqdirkan. Taqdir yang paling baik. Dia membagi rezeki untuk seluruh hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang dilapangkan. Ada pula yang dibatasi jumlahnya. Sebab Dia Maha Mengetahui isi hati seluruh hamba-Nya.
Ada orang yang diberi kaya dan imannya bagus. Jika diuji dengan miskin, iman itu bisa lenyap darinya. Ada pula orang yang diuji dengan kemiskinan, tapi imannya amat memesona. Saat miskin diganti dengan kaya, imannya bisa serta-merta hilang dari dalam dirinya.
Lagi pula, pemahaman ‘Setiap Muslim Harus Kaya’ bukan terbatas pada kepemilikan harta, majunya usaha, atau melimpahnya aset. Kalimat itu lebih kepada pemahaman bahwa ada kekayaan yang jauh lebih penting dari kaya harta; ialah hati yang senantiasa terhubung dengan Allah Ta’ala.
Dan saksikanlah, pendahulu umat ini tidak seluruhnya kaya dalam hal harta. Jika kalian menggunakan sosok Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan sebagai perlambang kaya, jangan lupakan sosok Bilal bin Rabah, Abu Dzar al-Ghifari, dan sosok miskin harta lainnya. Lalu pahami satu hal; kedua golongan itu sama-sama dimasukkan ke dalam surga.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]