Sebelum Nyawa Terputus, Aku Tetap Mencintainya

0

Ada penanganan khusus bagi mereka yang tengah jatuh cinta. Ada perlakuan spesial bagi sosok-sosok yang dilanda rindu. Perlakuan-perlakuan itu harus didasari ilmu yang jernih dan kebijakan keputusan, agar para pecinta bisa mendapatkan apa yang sebenarnya dia butuhkan.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ketika beliau berjalan di suatu sudut kota Madinah. Beliau mendengar salah satu penduduknya yang tengah bersyair ketika menggiling bahan makanan.

Sebelum nyawaku terputus, aku tetap mencintainya

Cahaya bulan purnama seakan pancaran rupanya

Seakan seluruh kebaikan Bani Hasyim terbit

dan terpancarkan dari sana

Sang Khalifah pun langsung memahami makna syair itu. Maka beliau langsung mengetuk pintu rumah. Setelah diizinkan masuk, sosok nan lembut ini bertanya, “Celaka engkau. Apakah engkau seorang wanita merdeka atau hamba sahaya?”

“Aku,” jawab sang wanita seraya menunduk, “adalah seorang hamba sahaya.”

Ayah ‘Aisyah istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pun melontarkan tanya kedua, “Siapakah yang engkau cintai dalam syairmu itu?”

“Demi Allah,” jawab sang wanita sembari menangis, “jangan memaksaku.” Pintanya kepada sang Khalifah, “Kumohon, pergilah dari sini.”

“Aku tidak akan pergi dari tempat ini,” jawab Abu Bakar, “hingga kau sampaikan siapakah lelaki dalam syairmu itu.”

“Aku adalah seorang wanita yang tengah dilanda cinta. Aku menangis karena mencintai Muhammad bin Qasim,” jawab wanita itu dengan menyenandungkan sebuah syair.

Abu Bakar pun pergi ke masjid, mencari tuan sang wanita, kemudian membebaskan dengan menebusnya. Setelahnya, Abu Bakar mengirimkan wanita itu kepada Muhammad bin Qasim. Kepada Muhammad bin Qasim, Abu Bakar meminta agar ia menikahi wanita itu.

Demikianlah solusi bijak dari seorang pemimpin yang memahami tabiat jiwa rakyatnya. Beliau memahami bahwa penyakit para pecinta hanya bisa disembuhkan dengan menikah. Itulah satu-satunya solusi, agar para pecinta tidak melampiaskan kecenderungannya pada hal-hal yang merusak jiwa, moral, juga agama.

Dengan menikah, apa yang menjadi hasrat para pecinta bisa tersalurkan secara baik sebagaimana tabiatnya. Itulah syariat yang telah Allah Ta’ala gariskan bagi hamba-hamba-Nya, dan menjadi salah satu sunnah unggulan Nabi-Nya. [Pirman]

Artikel sebelumnyaWahai Rasulullah, Aku Telah Berzina
Artikel berikutnyaAyah yang Durhaka kepada Anaknya