Tidaklah Allah Ta’ala menetapkan sesuatu, kecuali terdapat hikmah yang banyak bagi orang-orang yang beriman. Dia Maha Mengetahui dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Namun, orang-orang kafir senantiasa mengingkari hal ini sebagai bentuk kebodohan yang mereka turuti.
Ketika sekelompok kaum Muslimin hijrah yang pertama ke Habasyah, Abu Sufyan yang belum mendapatkan hidayah pun menyusul kaum Muslimin. Ia menghadap kepada Raja Romawi dan meminta agar kaum Muslimin dipulangkan ke Makkah al-Mukarramah.
Atas Kuasa Allah Ta’ala, Raja Romawi pun menyampaikan banyak pertanyaan kepada Abu Sufyan. Salah satunya, Raja Romawi bertanya, “Apakah kebanyakan pengikutnya (Nabi Muhammad) berasal dari kaum bangsawan atau golongan yang tertindas?”
Dengan jujur, Abu Sufyan pun membalas, “Yang menjadi pengikutnya adalah kaum tertindas (dhuafa’).”
Orang-orang kafir pun menanyakan soalan ini. Kata mereka, “Mengapa yang menjadi pengikut Nabi adalah kaum yang tertindas? Bukankah akan lebih kuat jika kebanyakan pengikut Nabi adalah para bangsawan?”
Pertanyaan dengan nada meremehkan ini juga direkam dengan amat baik di dalam al-Qur’an al-Karim. Kata mereka, “Orang-orang (lemah) semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?” (Qs. al-An’am [6]: 53)
Atas pertanyaan yang bermakna kesombongan ini, Allah Ta’ala langsung menjawabnya dengan berfirman, “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur kepada-Nya?” (Qs. al-An’am [6]: 53)
“Bukankah,” tulis Imam Ibnu Katsir menjelaskan kandungan ayat ini, “Allah Ta’ala yang lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur kepadanya, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun hati kecil mereka?”
Atas sikap syukur itulah, “Allah Ta’ala pun memberikan taufik dan hidayah kepada mereka menuju jalan-jalan keselamatan serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan izin-Nya. Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada mereka menuju jalan yang lurus.”
Kejadian ini juga menjadi salah satu penjelas atas sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar kita tidak hanya melihat kualitas seseorang dari tampilan fisiknya semata. Sebab, Allah Ta’ala tak pernah menilai hamba-hamba-Nya dari tampilan fisik atau capaian duniawi. Dia hanya menilai hamba-hamba-Nya dengan taqwa. Dan, sebaik-baiknya seseorang di hadapan Allah Ta’ala adalah yang paling baik taqwanya. [Pirman/Kisahikmah]