Pak Lukman Hakim yang terhormat.
Kisah ini sengaja saya tulis, untuk bapak yang pernah menjadi anggota dewan perwakilan rakyat pusat dari salah satu partai Islam besar di Negeri ini.
Kisah ini sengaja saya ketengahkan, khususnya setelah bapak mewacanakan agar warung tetap buka selama bulan Ramadhan sebagai wujud toleransi atau apalah. Sebab memang, saya tidak begitu mengikuti gegap gempita keributan yang ditimbulkan oleh bapak dan teman-teman lain di pemerintahan saat ini. Saya lebih memilih bercanda dengan dua anak kembar saya, atau sesekali lari-larian dan main sepak bola dengan anak-anak tetangga.
Sebelumnya, saya mohon maaf. Sebab, kisah ini bukan tentang sosok selayak bapak yang anaknya kiyai dan mengenyam pendidikan keislaman yang baik. Kisah ini hanya tentang anak manusia di sebuah sudut Tangerang, Banten. Tepatnya di salah satu kelurahannya. Sekali lagi, mohon maaf jika bapak merasa tak layak disandingkan dengan sosok yang akan saya kisahkan ini.
Sebelum menuliskan kisahnya, saya sepakat bahwa di negeri ini ada begitu banyak kaum Muslimin yang udzur dan selain Islam yang tidak berpuasa. Dan memang, mereka butuh makan di siang hari. Tetapi, anjuran membuka warung di bulan nan suci ini, ibarat menyerukan wanita yang tidak berpakaian seadanya untuk berjalan ke sana ke mari dengan perhiasan tubuhnya, lalu para lelaki normal (dewasa, pemuda, remaja) disuruh untuk jangan melihatnya sebab itu dosa.
Ilustrasi itu, bukan saya yang menciptakan, Pak Menteri. Tetapi dari salah seorang guru SMA saya yang merupakan kiyai Nahdhatul Ulama di sudut sempit kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Jika hendak kenalan, bisalah saya hubungkan dengan beliau.
Nah, jika demikian keadaannya, betapakah sulit untuk menundukkan pandangan, Pak Menteri? Bahkan, bukan hanya berjalan, wanita-wanita itu berjalan dan mengetuk pintu rumah kita. Bertamu. Ah, rasa-rasanya kok mustahil untuk sekadar tidak meliriknya.
Apalagi, jika bapak sempat berjalan ke kawasan-kawasan industri atau proyek-proyek bangunan, bapak juga akan menjumpai warung-warung tetap buka. Tetapi, mereka melakukan itu dengan terhormat. Mereka menutup jendela warung dengan kain tebal agar menu makanan dan orang yang makan tidak terlihat oleh manusia yang berlalu-lalang dalam keadaan berpuasa. Selain itu, sebagian mereka memakan dengan bersembunyi sebab tak mau menggoda saudara lain yang berpuasa.
Nah, seruan bapak ini, setidaknya ditafsirkan oleh sebagian orang, “Silakan buka warung. Silakan makan di sembarang tempat. Sebab, iman kita kuat dan tidak akan tergoda.”
Baiklah, Pak Menteri. Langsung saja saya sampaikan kisahnya.
Kemarin, ada penjajah mainan yang lewat di sebelah kontrakan saya. Saya gak tahu namanya. Hanya sesekali jumpa di masjid dalam shalat jamaah. Sebab, beliau berasal dari kampung lain.
Sosoknya tidak berkulit putih seperti bapak, beliau hanya sosok hitam dengan kulit keriput di banyak tempat.
Beliau juga jarang berpeci rapi segagah bapak, hanya mengenakan topi kusam yang entah kapan terakhir kali dicuci oleh istrinya.
Beliau juga tidak selayak bapak yang anak kiyai dan lulusan pendidikan Islam modern, bahkan riwayat sekolahnya tak jelas.
Beliau, tentu saja, bukan menteri selayak bapak dengan gajian besar. Beliau hanya pedagang yang sering tidak laku, tapi selalu sejuk dengan senyum dan harapannya yang tinggi kepada Allah Ta’ala.
Nah, beliau ini, kemarin berganti profesi dari berjualan bajigur, dan berbagai jenis palawija rebus menjadi penjajah arena mainan berbentuk becak yang dikayuh, dan ada anak-anak yang duduk di kursi berbentuk binatang di atasnya seraya mendengarkan lagu-lagu anak (odong-odong). Tarif persekian lagunya itu, hanya sekian ribu rupiah.
Kemudian, yang membuat saya merasa harus meluangkan waktu untuk menuliskan kisah ini, beliau bertutur dengan amat jujur, “Sengaja ganti profesi, Mas. Meski lebih capek karena harus mengayuh becak bermuatan anak-anak.” Sebab, katanya, “Untuk menghormati bulan puasa dan kaum Muslimin yang jalankan ibadah puasa. Maka, bajigur dan singkong rebus di siang hari saya liburkan sementara.”
Abang ini memang sesekali saya saksikan dengan gerobak bajigurnya di depan masjid saat shalat Zhuhur dan ‘Ashar.
Saya tahu, mungkin Pak Menteri tidak membaca kisah ini. Setidaknya, saya merasa telah melakukan yang harus saya lakukan. Semoga Allah Ta’ala berikan kebajikan yang banyak kepada Abang yang berganti profesi demi Ramadhan yang mulia, dan Allah sampaikan hidayah kepada Pak Menteri agar kelak menyerukan kalimat, “Pohon cemara dilarang di mal-mal saat Natal. Demi menghormati umat agama lain yang tidak natalan.” [Pirman/Kisahikmah]