Kisah Teladan Ustadz Arifin Ilham dan Seekor Kucing

0
sumber gambar: www.aktual.com

Kepada jamaah dzikir di masjid Babussalam The Green Bumi Serpong Damai Tangerang Selatan awal Desember 2015 lalu, Ustadz Muhammad Arifin Ilham berkisah tentang salah satu atsar pada diri seorang muslim yang rajin berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Ialah timbulnya rasa kasih sayang kepada sesama makhluk hidup, sesama manusia, terlebih lagi kepada sesama kaum Muslimin.

Dalam perjalanan dakwah ke daerah Jakarta tempo dulu, dai asal Banjarmasin ini kerap menempuh perjalanan kereta api bersama rekan-rekannya dari bilangan Depok Jawa Barat. Dari stasiun, beliau dijemput oleh panitia, atau melanjutkan perjalanan dengan naik angkutan umum perkotaan.

Dalam sebuah perjalanan di mobil menuju lokasi ceramah, sosok yang sedang menunggu hadirnya anak ketujuh ini melihat seekor kucing. Kecil. Lemah. Terlihat mengais sisa-sisa makanan di sekitar tempat sampah.

“Bang,” panggil ustadz yang kini memiliki dua istri kepada pengendara mobil, “berhenti sebentar. Kita cari warung makan terdekat.”

Sang sopir menurut, lalu mencari warung makan terdekat. Ustadz Arifin Ilham bergegas masuk, kemudian memesan ikan dan sedikit nasi. Diaduk agar merata. Setelahnya, Ustadz Arifin mengajak rombongan kembali menuju lokasi kucing kecil kelaparan.

Sesampainya di sana, si kucing masih mengais sisa makanan. Didekatilah dengan hati-hati oleh sang dai yang kerap mengenakan busana warna putih ini, lalu disodorkanlah nasi yang sudah dicampur dengan ikan. Si kucing makan dengan lahap, beliau juga menyertakan air di sampingnya.

Atsar dzikir lainnya juga beliau kisahkan dalam tausyiah dan dzikir pagi itu. Seorang jamaah mengaku mendatangi Ustadz Arifin untuk mengisahkan perubahan dalam hidupnya. “Tadinya gak pernah begini. Tapi sekarang, kalau lihat semut berenang di ember, rasa kasihan timbul, lalu tergeraklah tangan ini untuk menyelamatkannya.”

Jamaah ibu-ibu juga mengisahkan pengalaman hidupnya. “Sejak ikut dzikir, suami tambah mesra, tambah romantis. Bicaranya lembut, suka membawa hadiah dan kejutan, dan berkurang intensitas marahnya.”

Seperti inilah seharusnya ibadah. Bukan berhenti pada keshalihan individu. Bukan dinikmati sendiri. Ibadah harus berdampak dalam kehidupan nyata. Harus memiliki atsar. Harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari berupa akhlak.

Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaKisah Penyesalan Seorang Ayah akibat Salah Pilih Ibu Tiri untuk Anaknya
Artikel berikutnyaCara Berbakti kepada Orang Tua yang Sudah Meninggal