Laki-laki dari kalangan tabi’in ini belum berusia dewasa. Tapi, ruhaninya sudah membumbung tinggi, menembus angkasa keshalihan yang sukar dicari tandingannya. Hampir setiap hari, di Madinah al-Munawwarah, ia meratapi diri, menangis sepanjang waktu, menyesali diri seperti pernah melakukan dosa yang amat besar.
Kesibukannya adalah munajat. Tiada waktu yang terlewat kecuali digelayuti sedih. Hingga, sang bunda menaruh khawatir, bilakah anaknya itu telah melakukan sebuah dosa besar hingga ketakutan sedemikian rupa.
“Nak,” tanya sang bunda, “apa yang terjadi dengamu?” Belum dijawab, ibu yang jernih mata batinnya melanjutkan tanya, “Apakah engkau telah melakukan sesuatu yang menyebabkan murka Allah Ta’ala?”
“Benar, Bu,” jawab sang anak santun, “aku telah membunuh satu jiwa.”
Sang bunda terbelalak. Bagai disambar petir, dijatuhi gemintang, dan mendapatkan langit runtuh tepat di atas kepalanya. “Apa? Siapakah yang engkau bunuh? Adakah kau tahu keluarganya agar kita bisa meminta maaf? Siapa tahu, jika mereka mengetahui besarnya kesedihan yang kau alami, mereka akan memberikan maaf kepada kita.”
“Ibu,” tutur sang anak, sangat lembut, “janganlah engkau menuturkannya kepada siapa pun. Aku telah membunuh jiwaku sendiri.”
Saat sang bunda berupaya mencerna maksud kalimat sang buah hati, dia menuturkan, “Aku telah membunuh jiwaku dengan melakukan dosa-dosa.”
Sang anak dalam kisah ini merupakan salah satu murid terbaik Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Ialah Imam Rabi’ bin Khutsaim Rahimahullah, salah satu tabi’in terbaik di Kota Nabi. Ia yang kala itu masih belia sudah berhasil membuat kita malu.
Padahal, beliau tidak melakukan dosa besar. Masih anak-anak. Kesibukannya adalah berbakti kepada orang tua, ibadah, dan menuntut ilmu serta menjejaki sunnah Nabi yang mulia. Namun, beliau sangat sedih dengan dosa-dosa yang dilakukan, sebab tak ada manusia yang bebas dari kesalahan.
Kondisi ini sangatlah berbeda dengan kebanyakan kita saat ini. Sebagian besar manusia di akhir zaman ini menganggap dosa sebagai sesuatu yang remeh. Bahkan, ada manusia yang mengaku beragama Islam, tapi sudah tidak menggunakan kosakata dosa dalam kehidupannya.
Mereka bermaksiat atas nama hak asasi, mendukung keburukan atas nama kebebesan, mempublikasikan perbuatan salah dan keliru atas nama kekinian. Padahal, perbuatan dosa itulah yang menjadi sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi ini.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]