Pagi itu klinik sangat sibuk. Sekitar pukul 9:30, seorang kakek berusia 70-an datang untuk membuka jahitan pada luka di ibu jarinya. Aku menyiapkan berkasnya dan memintanya menunggu, karena semua dokter masih sibuk dan mungkin kakek itu baru dapat ditangani sekitar satu jam lagi.
Sewaktu menunggu, kakek itu tampak gelisah. Berkali-kali ia melirik jam tangannya. Aku merasa kasihan. Jadi ketika sedang luang, aku sempatkan untuk memeriksa lukanya. Nampaknya cukup baik, sudah kering dan tinggal membuka jahitan dan memasang perban baru. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, sehingga atas persetujuan dokter, aku putuskan untuk menanganinya sendiri.
Sambil menangani lukanya, aku bertanya apakah dia punya janji lain hingga tampak terburu-buru.
“Tidak. Hanya saja, seperti kebiasaanku sehari-hari, aku akan pergi ke rumah jompo untuk makan siang bersama istriku.” Kakek itu menceritakan bahwa istrinya mengidap penyakit Alzheimer dan sudah dirawat di sana sejak beberapa waktu.
“Apakah istri Kakek akan marah kalau Kakek terlambat?”
“Tidak… Sebenarnya istriku sudah tidak lagi mengenaliku sejak lima tahun yang lalu” jawaban itu membuatku tersentak.
“Kakek masih pergi ke sana setiap hari walaupun istri Kakek tidak kenal lagi?”
Pria tua itu tersenyum sambil tangannya menepuk tanganku dan berkata, “Dia memang tidak lagi mengenaliku, tetapi aku masih mengenalinya, kan..?”
Aku terus menahan air mata sampai kakek itu pergi…
Kisah mengharukan ini beredar melalui pesan berantai. Entah siapa sebenarnya penulisnya. Hasil penelusuran kisahikmah.com, kisah serupa pernah dimuat di situs Andriewongso pada 2013. Namun sebelum itu, kisah seperti ini juga telah dimuat di Baitulamin pada 2012, dan Blogdetik pada 2010.
Lepas dari siapa penulisnya, kisah ini mengajarkan tentang arti cinta dan kesetiaan. Seperti kata penulisnya, cinta sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. Cinta sejati adalah menerima apa adanya yang terjadi saat ini, yang sudah terjadi, yang akan terjadi, dan yang tidak akan pernah terjadi.
Dalam Islam, cinta pasangan suami istri terdiri dari dua aspek; mawaddah dan rahmah. Mawaddah adalah cinta yang terkait dengan faktor fisik; kecantikan, ketampanan, ketertarikan terhadap pasangan yang dengannya mereka saling memberikan hak biologisnya. Sedangkah rahmah adalah kasih sayang yang lebih dekat pada faktor non fisik dan immateri. Ia tumbuh dan hadir dalam jiwa tanpa mempedulikan kecantikan dan ketampanan pasangannya. Ia bahkan tak mempedulikan apakan belahan jiwanya sakit atau bahkan tak lagi mengenalnya. Ia lahir dari komitmen pernikahan, yang dengan tulus mencintai pasangannya meski fisik telah berubah. Inilah cinta yang terus bertahan hingga tua, sepanjang usia. Dan karenanya kita berdoa, agar keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. [Kisahikmah.com]