Sungguh berliku dan berat ujian hidup laki-laki ini. Berkulit hitam, dia lahir dalam keluarga Kristen Katholik yang taat. Oleh keluarganya, dia diproyeksikan untuk menjadi salah satu penginjil. Sayangnya, mimpi keluarganya kandas, dia menggunakan logika sehatnya, lalu memilih untuk memeluk agama Islam yang mulia.
Keputusan yang diambil laki-laki ini bukanlah sesuatu yang gampang. Di usianya yang kedua puluh empat saat itu, dia sedang berada di puncak karirnya. Ia menjadi salah satu pemain terbaik yang sering mejeng dalam liga bola basket bergengsi di negeri Paman Sam, NBA.
Namun, ia mengambil langkah berani. Dia tak mau terus menerus menyelisihi kata hatinya. Keyakinannya bulat, dia bersyahadat. Alasan yang dia kemukakan hingga murtad dari Kristen, karena agama ini merupakan dasar bagi budaya orang kulit putih untuk menjajah, menindas, dan mendiskriminasi orang-orang berkulit hitam seperti dirinya.
Setelah bersyahadat, Ferdinand Lewis Alcindor dari tim bola basket UCLA ini resmi berganti nama menjadi Kareem Abdul Jabbar yang bermakna orang mulia hamba dari Sang Mahakuasa.
Ujian Berat
Bukan tanpa konsekuensi, ia harus menanggung akibat dari pilihan hatinya. Dimusuhi keluarga, ditinggalkan oleh teman-teman dan rekan bisnisnya, dan akibat-akibat buruk lainnya. Puncaknya, keluarganya diserang oleh Kristen semburan Ku Klux Klan, dan rumahnya dibakar oleh oknum penganut kelompok sempalan KKK Black Legion.
Meski demikian, laki-laki yang kerap disapa dengan Abdul Jabbar ini tidak pernah menyerah sedikit pun, pantang menyesali pilihan terbaiknya. Bahkan, andai waktu bisa diputar, dia ingin memilih Islam lebih cepat dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa publisitas sebagaimana dialaminya saat itu.
Demikianlah kisah tentang laki-laki yang pernah bermain sebanyak 20 musim di Liga Bola Basket paling bergengsi di Amerika ini. Ia berpendapat, memilih agama bukanlah warisan keluarga sebagaimana diyakini dan dijalani oleh banyak orang.
Baginya, memilih agama harus berdasarkan pemahaman, harus ada korelasi antara iman dan logika hingga menimbulkan keyakinan dalam diri, bukan sekadar ikut-ikutan. Keyakinan itulah yang harus diikuti, meski berdampak buruk sebagaimana dialami laki-laki yang berislam pada tahun 1971 ini.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]