Shahabiyah mulia ini merupakan salah satu murid terbaik ‘Aisyah binti Abu Bakar. Melihat profil sang guru yang merupakan salah satu istri terbaik Rasulullah Saw saja, sudah bisa dibayangkan bagaimana kedalaman ilmu murid terbaiknya yang berasal dari Washshab, sebuah kabilah di Himyar ini.
Keluasan ilmu sang murid ini diakui oleh sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang lain. Bahkan, ia dirujuk oleh ‘Utsman bin ‘Affan sebagai salah satu pakar fikih yang berwawasan luas. Selain itu, wanita shalihah ini juga memiliki ketajaman nurani sehingga nasihatnya sangat melekat di hati para pendengarnya.
“Pelajarilah hikmah semasa mudamu,” demikian salah satu nasihatnya, “niscaya engkau akan mengamalkannya di masa tuamu.” Karena, “Setiap orang yang menanam pasti akan menuai hasilnya,” pungkasnya, “entah itu kebaikan maupun kejahatan.”
Bijak. Lembut. Santun dan melekat dalam sanubari.
Dalam kesempatan lain, wanita nan mulia ini menerangkan salah satu manfaat dzikir kepada Allah Swt. Katanya, “Dzikir kepada Allah Swt adalah perkara yang besar.” Ia menerangkan, shalat adalah dzikir, puasa juga termasuk dzikir. Selengkapnya, “Segala kebaikan yang engkau lakukan termasuk dzikir,” dan, “segala keburukan yang engkau jauhi juga termasuk dzikir.” Lantas, masih menurut nasihat mulianya, “Dzikir yang paling utama adalah bertasbih kepada Allah Swt.”
Subhanallahi wal hamdulillahi wa laa ilaha illallahu wallahu akbar.
Sebagaimana umumnya wanita yang tak pernah lepas dari pekerjaan dapur dan semua yang terkait dengan makanan, ia juga memberi nasihat, “Jangan kalian lupa membumbui makanan dengan dzikir.” Kemudian, saat menikmatinya, disarankan olehnya, “Makan disertai memuji Allah Swt itu lebih baik daripada makan sambil diam saja.”
Masya Allah, Allahu Akbar. Betapa mulianya waktu seseorang jika bisa melakukan nasihat nan berharga ini.
Beliau adalah sosok yang amat menghormati suaminya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. Karenanya, terhadap suaminya itu, ia memanggil dengan sapaan “Tuanku” sebagai bentuk penghormatan.
Qadarullah, suaminya wafat lebih dulu. Sebelum momen nan mengharukan itu, sang istri berkata bahwa ia ingin jika kelak tetap menjadi istri sang suaminya itu ketika di surga. Lantaran hal itu pula, sang suami berkata, “Jika engkau ingin menjadi istriku di surga,” syaratnya, “janganlah menikah lagi setelah aku meninggal.”
Benarlah. Lepas menjanda, padahal ia adalah sosok wanita idaman dan dambaan; sosok yang cantik, shalihah, menawan dan masih muda, datanglah sang khalifah Muawiyah binti Abu Sufyan yang melamarnya.
Duhai, wanita mana yang tak melirik ketika dilamar oleh sosok shalih, ahli ibadah dan pemimpin negara? Namun, muslimah yang teringat ucapan suaminya sebelum wafat itu berkata, “Saya tidak akan menikah lagi dengan seorang pun di dunia ini,” tegasnya tanpa ragu. Jelasnya kemudian, “Sampai aku menikah lagi dengan Abu Darda’ (suamiku) di surga,” pungkasnya, “Insya Allah.”
Duh, romantisnya!
Shalihah, muda, cantik, berwawasan luas, ahli ibadah, dan tegas menolak lamaran seorang shalih yang kepala negara karena ingin menjadi istri bagi suami pertamanya di surga, insya Allah. Inilah muslimah nan menyejarah kisah cintanya itu, Hujaimah binti Huyay al-Awshabiyah yang lebih dikenal dengan Ummu Darda’. [Pirman]