Mari tatap lekat-lekat wajah tulus ibu yang telah pertaruhkan nyawa saat melahirkan kita ke dunia yang fana ini. Jika ia tiada, atau harus jauh karena satu dan lain hal, lekaslah hadirkan bayang wajah teduh sosok yang telah habiskan masanya demi besarkan kita itu.
Kasih ibu tak berbatas, sepanjang masa. Bahkan mungkin lebih panjang dari bilangan umur kita. Namun, kasih anak amat terbatas, sepanjang galah, bahkan tak jarang seorang anak membenci ibu yang telah mengandung dalam bilangan sembilan bulan itu.
Seorang ibu dibawa oleh anak kandungnya ke salah satu kursi yang terletak di pinggiran sungai di sebuah taman kota. Rupanya, sang anak berpamit sembari menyerahkan secarik kertas kepada wanita mulia yang dahulu membersihkan kotorannya itu.
Tanpa memberi bekal makanan atau minuman, anak itu hanya berkata akan menyelesaikan sebuah urusan. Sebelum pergi, sembari menyerahkan secarik kertas itu, ia berpesan, “Jika aku terlambat, berikan kertas ini kepada siapa pun yang kau temui.”
Sang ibu yang amat tulus kasih sayangnya itu mengiyakan, tanpa sedikit pun berprasangka buruk dan amanah untuk tidak membuka secarik kertas yang ada di tangannya.
Sepanjang hari, ibu itu masih berada di tempat yang sama dengan posisi duduk yang tak berubah sedikit pun. Selama itu ia hanya melihat lalu-lalang orang yang tengah berlibur di taman, dan aktivitas yang ada di sungai itu.
Menjelang Maghrib, datanglah seorang lelaki berjas rapi menenteng tas menghampirinya. Mendekat dengan sopan, lelaki bernama Abdullah itu bertanya setelah ucapkan salam. “Maaf, Bu. Sejak tadi pagi saya melihat ibu di tempat ini. Boleh tahu, apakah yang sedang ibu lakukan?”
Sebelum menjawab, sang ibu yang seharian belum merasakan makan dan minum sedikit pun, meminta izin kepada lelaki bernama Abdullah itu, “Maaf, apakah saya boleh meminta air minum?”
Lepas disodorkan sebotol air mineral enam ratus mili liter, ibu itu langsung meminumnya dalam sekali tegukan. Barulah setelah itu keduanya terlibat dalam perbincangan yang akhir ceritanya membuat kita gelengkan kepala, mengelus dada, dan mengucap istighfar berulang kali.
“Nak, saya ini dari kampung. Mengunjungi anak saya yang tinggal bersama istri dan anaknya di kota ini.” Ujarnya memulai kisah.
Selepas anggukkan kepala, Abdullah pun bertanya, “Kenapa bukan anak ibu yang bersilaturahim ke kampung?”
“Kampung ibu jauh, Nak”, lanjutnya membela anaknya, “Kasihan kalau menantu dan cucu ibu harus menempuh perjalanan jauh berdesak-desakkan.”
Sembari tersenyum, Abullah pun melemparkan pertanyaan selanjutnya, “Jadi, yang tadi meninggalkan ibu itu siapa?”
Ujarnya dengan mata berbinar, “Itu anak ibu. Dia menjemput dari stasiun, dan meminta ibu menunggu di tempat ini hingga urusannya selesai.”
“Apakah,” henti Abdullah sejenak sebelum melanjutkan, “dia akan menjemput ibu?” Seketika, ibu itu menggelengkan kepalanya, kemudian menerangkan, “Dia hanya meninggalkan kertas ini dan meminta ibu menyerahkannya kepada siapa pun yang ibu temui.”
Abullah pun menerima sodoran kertas itu, berharap yang tertulis di dalamnya adalah nomor hand phone maupun alamat rumah anaknya.
Belum dibuka secarik kertas itu oleh Abdullah, ibu itu mengatakan, “Sepertinya itu nomor telepon anak ibu. Hubungi saja, ia akan datang dan mengajak ibu untuk bertemu anak dan istrinya di rumahnya.”
Seketika setelah dibuka, Abdullah merasakan dunia di depannya berhenti serta-merta. Nafasnya terhenti, jantungnya berdegup kencang, matanya tak berkedip, dahinya mengkerut, pikirannya melayang entah ke mana setelah tak melihat satu pun angka di kertas tersebut. Tertulis di sana, “Siapa pun yang membaca tulisan ini, tolong antarkan orang tua ini ke panti jompo terdekat.”
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Durhakanya ia. Bahkan ibunya yang jauh-jauh berkunjung dari kampung dengan selaksa kasih sayang, ia telantarkan dan disebutnya dengan “orang tua ini”. [Pirman]