Di dalam rezeki yang diberikan oleh Allah Ta’ala kepada seorang hamba terdapat jatah rezeki bagi orang lain. Baik itu anggota keluarga, ataupun orang lain di sekitarnya. Karenanya, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya berbagi harta, baik yang wajib maupun sunnah.
Ketika kesadaran berbagi harta telah menjadi sebuah kebiasaan dalam komunitas muslim, maka yakinlah bahwa kemiskinan tinggallah cerita. Sebab faktanya, menjamurya kemiskinan terjadi lantaran ketimpangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Alhasil, yang kaya semakin melimpah, sementara yang miskin kian menderita.
Karenanya, saat Allah Ta’ala memilih kita menjadi salah satu hamba yang dikaruniai lebih banyak harta di banding orang lain, penting untuk disadari: ada jatah orang lain dalam harta yang Dia berikan. Dengan adanya sikap seperti ini, kita akan mudah berbagi dan tidak memiliki ketinggian hasrat untuk menumpuk kekayaan.
Sahabat,
Tatkala banyak orang yang datang untuk menyampaikan kebutuhannya kepada kita, maka sejatinya hal itu adalah nikmat. Bukan, sama sekali bukan untuk berbangga diri; melainkan peluang amal nan langka yang kita dipilih-Nya untuk menjadi perantara. Maka jika hal ini yang kita alami, berikanlah solusi yang bijak agar mereka tidak tergantung kepada sesama manusia.
Dikisahkan oleh salah satu muridnya, ada orang yang datang berkali-kali kepada Fudhail bin Iyyadh untuk meminta uang. Beliau adalah salah satu ulama yang namanya dikenang lantaran ilmu dan amalnya. Sebab tidak mau gurunya diganggu oleh peminta-peminta tersebut berulang kali, maka ia berkata, “Pergilah, jangan ganggu Syaikh.”
Rupanya, yang dilakukan oleh sang murid diketahui oleh gurunya. Kemudian, dengan penuh kelembutan sang Guru memberikan nasihat menyejukkan kepada muridnya itu, “Diamlah,” lanjutnya menerangkan seraya bertanya, “Tidaklah engkau tahu, bahwa kebutuhan seseorang kepadamu adalah nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadamu.”
“Hati-hatilah,” lanjut sang Syaikh menuturkan, “jika kalian tidak bersyukur, lalu nikmat itu berubah menjadi bencana.” Pungkas ulama kharismatik menasihati, “Tidakkah engkau memuji Allah Ta’ala karena masih ada orang yang meminta kepadamu.”
Beginilah orang-orang yang dikarunia kecerdasan ruhaniyah melebihi orang pada umumnya. Mereka memaknai setiap jenak kehidupan sebagai salah satu sarana untuk semkain mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Dalam tahap tertentu, banyak di antara mereka yang justru memberikan sesuatu, meskipun ia sendiri amat menghajatkannya. Maka, jika pun mereka tak nampak kaya dengan harta benda nan mewah, sesungguhnya kekayaan sejati telah bersemayam di dalam sanubari orang-orang shalih nan terpilih itu. [Pirman]