Ummu Harun Al Khurasaniyah. Dia bukan wanita sembarangan. Jawabannya tentang pertanyaan kematian dan perjumpaan dengan Allah membuat ulama pingsan. Ulama sekaliber Abu Sulaiman Ad Darani Az Zahid Al Kabir.
Waktu itu, Abu Sulaiman bertanya. “Apakah engkau tidak menyukai kematian?”
Pertanyaan itu dilontarkan Abu Sulaiman setelah ia bertanya tentang seseorang yang mengharap kematian dan seseorang yang ingin bertahan hidup. Ummu Harun memberinya pandangan yang berbeda. Orang yang ingin bertahan hidup, kata Ummu Harun, adalah orang yang mencintai ketaatan dan memilih ketaatan. Mencari bekal sebanyak-banyaknya agar selamat di akhirat.
Jawaban menarik dari Ummu Harun membuatnya melanjutkan pertanyaan subyektif.
“Tidak,” jawab Ummu Harun. Abu Sulaiman terhenyak. Bagaimana mungkin wanita tabi’iyat seperti Ummu Harun tidak menyukai kematian?
“Mengapa engkau tidak menyukai perjumpaan dengan Allah Ta’ala?” Abu Sulaiman menanyakan alasannya. Namun ia tak lagi memakai istilah kematian melainkan perjumpaan dengan Allah. Sebab kematian bagi orang-orang yang beriman pada hakikatnya adalah perjumpaan dengan Allah. Lantas mengapa Ummu Harun tak menyukainya, itu yang membuat Abu Sulaiman penasaran.
Bukannya langsung menjawab. Ummu Harun justru menangis. Bulir-bulir air matanya menetes. Sembari terisak ia menjawab, “Hai Abu Sulaiman, seandainya aku mendurhakai seorang manusia, maka aku tidak mau menemuinya. Lantas bagaimana akun mendambakan perjumpaan dengan Allah sedangkan aku mendurhakaiNya?”
Jawaban itu laksana petir di siang hari bagi Abu Sulaiman. Menyentak kesadarannya. Dan seketika ia gemetar lalu tersungkur. Pingsan.
Mengapa Abu Sulaiman pingsan? Sebab jawaban itu sangat berat bagi dirinya. Manusia manakah yang tidak pernah durhaka kepada Allah? Hanya Rasulullah yang ma’shum. Hanya Rasulullah yang tidak pernah berbuat durhaka. Hanya Rasulullah yang dijaga Allah dari dosa.
Baca juga: kisah anak durhaka
Lalu bagaimana selama ini ia merasa selamat? Bagaimana selama ini ia percaya diri mendambakan perjumpaan dengan Allah? Bukankah ada rasa malu dan rasa takut bertemu dengan-Nya dengan membawa kedurhakaan?
Dan jika tabi’iyat ahli ibadah selevel Ummu Harun dan ulama selevel Abu Sulaiman saja merasa demikian, bagaimana dengan kita? Betapa banyaknya kedurhakaan kita kepada Allah… kita selayaknya lebih banyak menangis daripada mereka berdua. Ataukah hati kita sedemikian keras hingga tak bisa lagi menangis karena dosa? [Muchlisin BK/Kisahikmah]