Ada ungkapan yang mengatakan bahwa tidaklah seseorang menjadi pribadi yang besar nan memesona dalam sejarah selama ia hanya sibuk membesarkan dirinya sendiri. Bahkan, ia yang sibuk mengurusi orang lain, justru dari sanalah Allah Ta’ala kurniakan kemudahan hingga ia menjadi pribadi yang dikenang sejarah.
Dalam tahap ini, tatkala seseorang mulai belajar untuk memikirkan orang lain, ada ujian berat yang mulai menjangkiti, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun orang lain.
Sebagai seorang perantau, Jono (bukan nama asli) memiliki keakraban dan solidaritas yang tinggi terhadap saudaranya sesama perantau. Apalagi kepada sesama perantau yang memiliki ikatan darah.
Karenanya, kabar sakit dari sepupunya yang sesama perantauan menggerakkannya untuk mengumpulkan saudara lain yang memang kebanyakannya adalah perantau.
Tatkala mereka telah berkumpul, disampaikanlah informasi dari dokter terkait penyakit yang diderita oleh sepupunya Joni. Sebagai tindakan medis, sepupunya itu diharuskan melakukan cuci darah sebanyak tiga kali dalam sepekan atau dua belas kali dalam sebulan.
Yang lebih mengejutkan, dalam sekali cuci darah itu, biaya yang mesti dibayarkan sebesar satu juta rupiah. Seluruh yang hadir pun bingung ketika satu di antara yang hadir bertanya, “Siapa yang akan menyumbang berapa untuk menutup biaya cuci darah sebesar dua belas juta per bulan itu?”
Apalagi sebagai perantau, hampir semua keluarga yang hadir belum memiliki kebebasan finansial dan usaha yang mapan. Sedangkan Joni sendiri hanya berjualan barang-barang kelontong yang tak bisa dipastikan omsetnya; sehari ramai, dua hari sepi, begitu seterusnya.
Namun, entah bagaimana ceritanya, serta merta Joni berkata penuh keyakinan kepada yang hadir, “Saya yang akan menanggung semua biaya cuci darah itu.” Tak lama setelah itu, pertemuan keluarga pun usai dan masing-masing kembali ke tempat tinggalnya.
Keesokan hari dan beberapa hari setelahnya, Joni mulai dihinggapi perasaan pesimis. Pasalnya, semakin mendekatnya jadwal cuci darah, usaha Joni belum menunjukkan hasil yang optimal. Ia bingung, bagaimana cara mendapatkan uang agar niat baiknya itu terlaksana.
Beruntungnya, meski pesimis, Joni tak pernah putus asa apalagi menyerah. Ia justru semakin bersemangat dan gigih dalam berupaya diiringi dengan doa khusyuk kepada Rabb semesta alam.
Qadarullah, di hari pertama jadwal cuci darah, Joni menerima orderan dalam partai besar dengan besaran laba yangn lebih dari cukup untuk biaya cuci darah sepupunya. Mengalami kejadian itu, ia hanya bisa bersyukur memuji Allah Ta’ala atas karunia-Nya yang luar biasa itu.
Ternyata, karunia nan luar biasa itu semakin banyak terulang, bukan hanya menjelang jadwal cuci darah sepupunya. Bahkan, Joni merasa mendapatkan banyak kemudahan seketika setelah ia nekat berniat menolong sepupunya itu.
Usahanya pun semakin bertumbuh kembang, jaringannya semakin luas, pelanggan besarnya terus bertambah hingga tak terhitung, bahkan akhirnya, Joni memiliki kenalan orang pabrik yang memproduksi barang-barang dagangannya. Dengan demikian, harga beli yang ia keluarkan semakin kecil, sehingga untung yang diperoleh semakin besar.
Sebagaimana dipaparkan dalam buku “7 Password Percepatan Rezeki”, hingga kisah ini dituliskan, Joni sudah memiliki sembilan toko yang tersebar di berbagai daerah di sekitar Jakarta.
Demikianlah Sahabat, hanya dengan berniat baik dan kesungguhan untuk mewujudkannya, Allah Ta’ala sudah memberikan balasan yang amat melimpah. Belum lagi balasan di akhirat yang jauh lebih besar dan abadi. Masya Allah… [Pirman]