Saat semua harga kebutuhan naik, dan hutang sukar untuk dihindari, ada gaya hidup yang harus kita ubah. Sebab hutang akan senantiasa diperhitungkan hingga dilunasi.
Bagi yang memiliki kelebihan harta, kiranya anda perlu berbahagia sebab ada keutamaan yang dijanjikan. Jika anda memberikan hutang, kemudian penghutang mengalami kendala untuk mengembalikan setelah berupaya sungguh-sungguh, lalu anda memudahkan atau membebaskannya; janji Nabi adalah kepastian yang mustahil teringkari.
Apakah balasannya? Berikut riwayat shahih oleh Imam Muslim sebagaimana dikutip al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.
Adalah Abu Qatadah pernah memberikan hutang kepada seseorang. Sebut saja Fulan. Saat jatuh tempo, Abu Qatadah pun mendatangi yang bersangkutan untuk menagih. Sayangnya, Fulan bersembunyi. Maka, Abu Qatadah pulang dengan tangan kosong.
Pada hari yang lain, Abu Qatadah kembali mendatangi rumah Fulan. Didapatilah seorang anak yang keluar dari rumah itu. Saat ditanya terkait keberadaan Fulan, anak itu menjawab lugas, “Ya. Ia berada di rumah.”
“Hai Fulan,” panggil Abu Qatadah agak kencang, “keluarlah. Aku mengetahui bahwa kau ada di dalam.” Sebab ketahuan, maka Fulan pun keluar untuk menemui tamunya itu.
“Apa yang membuatmu bersembunyi dari diriku?” tanya Abu Qatadah tanpa basa-basi.
“Sungguh,” jawab Fulan serasa terdakwah, “aku benar-benar dalam kesulitan.” Terangnya kemudian, “Aku tidak mempunyai apa pun.”
“Ya Allah…” lirih Abu Qatadah menyebut Rabbnya, “apakah engkau benar-benar berada dalam kesulitan?”
“Ya,” ujar Fulan singkat.
Sesaat setelah mendengar jawaban jujur dari Fulan, Abu Qatadah pun menangis beberapa saat. Rupanya, yang menjadi sebab tangisnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
“Barang siapa memberi kelonggaran kepada penghutang-atau menghapuskannya-, maka ia berada dalam naungan ‘Arsy pada Hari Kiamat kelak.”
Betapa mulianya mereka yang murah hatinya hingga membebaskan hutang yang merupakan kesulitan bagi saudaranya. Betapa mereka yang melakukan amalan mulia ini adalah insan terpilih. Mereka memilih akhirat daripada dunia yang sementara. Mereka melakukan itu, bukan untuk yang lain, tapi hanya karena Allah Ta’ala seraya berharap surga dan Ridha-Nya. [Pirman]