Peristiwa yang Mengubah Abu Hanifah hingga Menjadi Imam Besar

0

Usianya masih muda. Baru dua puluh tahun. Namun, capaian bisnisnya sudah tak terhitung. Pengusaha sukses pun layak disematkan padanya. Bidangnya, bisnis kain dan pakaian. Sebagaimana aktivitasnya saban hari yang sudah dijalani dalam bilangan tahun, pagi itu, ia bergegas menuju pasar. Menggerakkan roda bisnisnya.

Di tengah jalan, ia dihadang oleh seorang bijak. Asy-Sya’bi namanya. Tanyanya, “Siapa yang hendak engkau tuju?”

“Ke pasar,” jawab sang pebisnis muda dingkat.

“Bukan,” kilah sang bijak, “maksudku, siapa ulama yang akan kautuju untuk menimba ilmu.” terang sang bijak.

“O,” jawab pengusaha muda sukses ini, “aku tidak belajar kepada ulama mana pun. Aku hendak menuju ke pasar.”

“Jangan seperti itu,” larang sang bijak. Bijaknya sampaikan nasihat, “Datangilah ulama. Bergurulah padanya.”

Kemudian, ketika sang pemuda masih syahdu menyimak dan mencerna maksud kalimat itu, sang bijak mengatakan alasannya, “Sungguh,” akunya sampaikan kesan, “aku melihat di dalam dirimu ada jiwa yang hidup dan bergerak.”

Pengusaha muda yang telah sukses jalankan aneka jenis bisnis itu pun termenung. Kalimat sang bijak benar-benar berkesan di dalam diri dan jiwanya. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk mengagendakan waktu menuntut ilmu kepada ulama.

Benarlah. Dalam bilangan masa berikutnya, pemuda bernama Abu Hanifah ini mengikuti majlis ulama kenamaan waktu itu. Kepada Hammad bin Sulaiman, pemuda ini datangi majlisnya dan berguru padanya.

Tak butuh waktu yang lama, pemuda ini berhasil menyita perhatian sang guru. Hingga, Hammad bin Sulaiman mengatakan kepada peserta majlisnya, “Tidak boleh ada yang duduk di barisan terdepan, kecuali Abu Hanifah.”

Waktu berlalu. Hingga genaplah masa sepuluh tahun. Sebab telah lama menuntut ilmu kepada gurunya, Abu Hanifah berpikir untuk membuat majlis sendiri. Maka, dengan niat yang tulus dan gegas geraknya, ia hendak pamit kepada gurunya dan meminta ijin untuk mendirikan majlis sendiri.

Rupanya, lidahnya keluh. Ia merasakan damai, sejuk, dan tenang yang menenteramkan saat duduk di majlis gurunya itu. Hingga, ia lupa meminta ijin dan akhirnya urung melakukannya. Apalagi, di hari itu juga, sang guru menunjuknya untuk menjadi pengganti. Sebab, sang guru harus menyelesaikan urusan di Bashrah untuk waktu yang agak lama.

Maka setelah hari itu, Abu Hanifah duduk di singgasana sang guru. Menyampaikan fatwa, menebarkan hikmah, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta majlis sang guru.

Dua bulan kemudian, sang guru pulang. Sepanjang itu, Abu Hanifah mencatat semua pertanyaan jamaah dan jawaban yang ia sampaikan. Daftar tanya dan jawab itu pun disodorkan kepada gurunya. Dari enam puluh soal, empat puluh di antaranya jawaban Abu Hanifah sama dengan jawaban sang guru, sedangkan jawaban atas dua puluh pertanyaan lainnya; sang guru berbeda pendapat dengan Abu Hanifah.

Sejak saat itulah, Abu Hanifah benar-benar mengurungkan niatnya untuk membuat majlis yang baru. Ia merasa masih memiliki sedikit ilmu, dan kembali menemani gurunya di majlis nan mulia itu, hingga delapan tahun kemudian.

Genaplah masa delapan belas tahun bersama gurunya, itulah hari-hari yang sangat membekas dalam jiwa Abu Hanifah. Dan, setelah gurunya wafat, ia merasakan rindu yang tak tergambar. Hingga, tidaklah Abu hanifah mendoakan orang tuanya kecuali tersebut pula nama Hammad bin Sulaiman dalam doa-doanya.

Selanjutnya, hingga kini dan akhir zaman nanti, nama Abu Hanifah sangat kharismatik, monumental, dan harum dalam lembaran sejarah kecemerlangan Islam dan kaum Muslimin. Beliau yang menjadi anutan bagi madzhab Hanafiyah ini memang sosok yang alim, ahli ibadah, bijak, dan pengusaha yang sukses. Beliau juga menjadi salah satu pencetus dalam memberikan beasiswa bagi penuntut ilmu yang memang tak memiliki biaya. Semoga Allah Ta’ala meridhainya. Aamiin. [Pirman]

Artikel sebelumnyaKeajaiban Puasa; Diberi Minum dari Langit dengan Ember Bertali Putih
Artikel berikutnyaJika Lakukan Ini, Maka Pahala Istri sama dengan Suaminya