Banyak yang diuji dengan kekurangan harta, tak sedikit pula yang diberi cobaan dengan banyak dan melimpahnya kekayaan. Bahkan, jika orang miskin dipercepat hisabnya, maka orang yang kaya lebih lama sebab akan diperiksa dari setiap harta yang didapat hingga bagian terkecilnya.
Bagi orang beriman, kaya atau pun miskin bisa menjadi sarana untuk memasuki surga. Maka mereka tidak akan risau diberi yang mana pun dari keduanya. Namun, bagi mereka yang ingkar, kaya atau miskin bisa menjerumuskan mereka ke dalam siksa api neraka.
Saat miskin, orang-orang yang ingkar senantiasa mengeluh, menyalahkan Allah Ta’ala, dan bermalas diri atau menjadi peminta-peminta. Di antara mereka ada yang salah arah dengan mengupayakan harta yang haram, baik dengan merampok atau pun tindakan buruk lainnya.
Sedangkan saat diberika kekayaan, mereka juga menggunakannya untuk berfoya-foya, bermewah dalam makanan, minuman, tempat tinggal, kendaraan, jumlah aset, dan sebagainya. Di waktu yang sama, mereka juga melakukan manipulasi di banyak hal dengan kemampuan intelektual yang mereka miliki.
Termasuk di dalamnya, disebabkan oleh kekafirannya, mereka tidak mengenal yang namanya zakat. Padahal zakat diwajibkan atas harta yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Apalagi terkait sedekah, infaq yang sunnah, atau pun hadiah dan pemberian biasa.
Atas keengganan mereka dalam memenuhi perintah Allah Ta’ala terkait harta ini, ada balasan mengerikan yang kelak akan diberikan oleh-Nya. Balasan amat menyakitkan yang tidak bisa ditanggung oleh manusia sekuat apa pun.
“Barang siapa yang diberi kekayaan oleh Allah Ta’ala, lalu ia tidak menunaikan zakatnya,” sabda Nabi sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, “maka hartanya akan menjadi seekor ular besar yang memiliki dua taring, dan akan dikalungkan kepadanya di Hari Kiamat.”
Tidak hanya dikalungkan, “Ular itu akan mematuknya dengan dua tulang rahangnya.” Kemudian, ular itu berkata, “Aku adalah harta kekayaanmu. Aku adalah simpananmu.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengakhirinya dengan membaca firman Allah Ta’ala,
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Ali ‘Imran [3]: 180)