Jangan pernah melihat kualitas seorang manusia hanya dari tampilan fisiknya. Sebab, Allah Ta’ala hanya menilai bagus dan tidaknya kualitas seorang hamba dari hatinya. Hanya taqwa yang dijadikan paramater baik atau buruknya seorang hamba. Bukan predikat lainnya.
Tidak semua manusia yang dimuliakan oleh sesamanya itu baik dalam pandangan Allah Ta’ala. Tidak pula semua orang yang dilihat buruk hanya lantaran tampilan luarnya dinilai buruk pula oleh Allah Ta’ala.
Apalagi, jika kita menilai mulia atau tidaknya seseorang hanya dari pekerjaannya. Amat picik.
Tidakkah kita sadar, bahwa inti dari bekerja adalah ibadah kepada Allah Ta’ala? Bukankah jika niatnya ibadah, maka bekerja harus dalam rangka mengabdi seraya tidak mengingkari-Nya dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan?
Jika motifnya ibadah, predikat atau jabatan tak lagi penting. Seorang bawahan yang bertaqwa amat mungkin jauh lebih mulia dan agung dalam penilaian Allah Ta’ala di banding atasan yang hobi melakukan korupsi di banyak bidang.
Jika niatnya ibadah, penjaga toilet pun bisa lebih mulia dari seorang pegawai negeri atau swasta, pejabat pemerintah atau wiraswasta, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dibanggakan, namun dijalani dengan melanggar hukum-hukum Allah Ta’ala dan mengkhianati sesamanya.
Pasalnya, sosok-sosok yang sering dilihat sebelah mata ini, sejatinya merupakan manusia-manusia mulia, namun jarang disadari. Mereka ini, meski sering berasal dari kalangan bawah, adalah pahlawan-pahlawan yang amat besar jasanya kepada orang lain. Bukankah mereka yang tempo hari mengusir setan-setan laki-laki dan perempuan?
Mereka itulah para penjaga toilet yang sering dianggap hina. Toilet-toilet adalah tempat bersemayamnya setan dan bala tentaranya. Saat adzan dikumandangkan, setan berlari dan bersembunyi di dalamnya. Ketika toilet tersebut kotor dan terdapat banyak genangan air, setan pun akan semakin betah dan berlama-lama di dalamnya.
Karenanya, penjaga toilet yang amanah, rajin, dan suka rela membersihkan tempat bersemayamnya setan tersebut, sejatinya mulia dan amat layak dihargai.
Bukankah kita juga sepakat bahwa mereka ini lebih mulia dari sekelas sarjana, master, doktor, atau pun profesor yang berdasi tapi memakan hak sesama melalui jalan laknat bernama korupsi?
Terimakasih, para penjaga toilet yang terhormat. [Pirman/Kisahikmah]