Di antara bahasan yang tak ada ujungnya adalah soalan rezeki. Bermula dari jaminannya, kaidah-kaidahnya, cara menjemputnya, pertanggungjawabannya, dan lain sebagainya. Seru. Dinamis. Menantang. Dan, tak ada habisnya. Sebab, ia amat lekat dengan kehidupan kita di dunia yang amat sementara ini.
Jika dihubungkan dengan keislaman kita, soalan rezeki ini sebenarnya telah selesai. Allah Ta’ala telah menjelaskannya panjang lebar di dalam al-Qur’an, dilengkapi dengan riwayat-riwayat shahih yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits-haditsnya yang mulia.
Satu di antaranya adalah tentang dosa yang menjadi penghalang rezeki. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Majah, Imam ath-Thabrani, Imam Ibnu Hibban, dan Imam al-Hakim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang dihalangi dari rezekinya disebabkan dosa yang dia perbuat.”
Mengapa dosa menjadi penghalang rezeki? Berikut ini dua penjelasan ulama sebagaimana dikutip Ustadz Salim A. Fillah dalam Lapis-Lapis Keberkahan.
Pertama, karena istighfar sebagai penghapus dosa menjadi jalan terbukanya rezeki. Maka, dosa menjadi penghalang bagi seorang hamba untuk mendapatkan rezeki.
Terkait khasiat istighfar sebagai pelancar rezeki ini, kita bisa membaca dan menadabburinya dalam surat Nuh [71] ayat 10-12. Simpul Salim A. Fillah menjelaskan alasan pertama ini, “Jika bertaubat menjadikan berlimpahnya bentuk rezeki, maka berdosa bermakna membatalkan semua itu. Ini pemahaman pembalikannya.”
Jika alasan pertama lebih pada bentuk zahir rezeki, maka sebab yang kedua adalah terhalangnya seorang hamba dari rasa nikmat atas banyak rezeki yang diberikan oleh Allah Ta’ala.
“Yang dihalangi dari si pendosa,” tutur dai murah senyum asal Kota Gudeg ini, “adalah rasa nikmat yang dikaruniakan Allah Ta’ala dari berbagai bentuk rezeki tersebut.”
Maknanya, Allah Ta’ala tetap melimpahi seorang hamba dengan rezeki. Akan tetapi, rasa nikmatnya telah dicabut. Alhasil, banyak dan berlimpahnya itu terasa hambar. Bahkan membuat dirinya semakin haus dan berhasrat untuk menumpuknya, sebanyak-banyaknya. Tiada rasa cukup apalagi syukur kepada Allah Ta’ala.
“Karena dosa yang menodai hatinya,” jelas Imam an-Nawawi, “hamba tersebut kehilangan kepekaan untuk menikmati rezeki-Nya dan (luput) mensyukuri nikmat-Nya.”
“Dan ini,” pungkas Imam an-Nawawi sebagaimana dikutip Salim, “adalah musibah yang sangat besar.” Astaghfirullahal ‘azhiim… [Pirman/Kisahikmah]