Masuk Islamnya Yahudi Lantaran ‘Ejekan’

0
ilustrasi @filestin

Inilah kisah agung tentang kecerdasan hujjah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani sang penulis Syarah Shahih al-Bukhari. Saat didebat oleh seorang Yahudi, Imam Ibnu Hajar menjelaskannya dengan bentuk ‘ejekan’. Akan tetapi, ‘ejekan’ itu mujarab. Si Yahudi pun langsung mengikrarkan dua kalimat syahadat di depan sang imam. Alhamdulillah.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani diangkat sebagai Mufti sekaligus Qadhi oleh Sultan. Sultan pun memberikan fasilitas kendaraan yang bagus dan pakaian yang mewah kepada Sang Imam. Padahal, Sang Imam tidaklah menyukai segala jenis perhiasan dunia.

Suatu hari, saat beliau tengah mengenakan pakaian terbaik dan kendaraan termewah yang nyaman, beliau dicegat oleh seorang Yahudi miskin, buruk rupa, dan menyebarkan aroma bau kepada sekitarnya.

“Wahai pemuka Islam,” seru si Yahudi pongah, “Nabimu pernah mengatakan bahwa dunia adalah surga bagi orang kafir dan neraka bagi orang beriman.”

“Benarkah demikian?” tanya si Yahudi memastikan kebenarannya.

“Betul,” sahut Imam Ibnu Hajar singkat.

“Jika demikian,” lanjut si Yahudi dengan nada tinggi, “akulah orang beriman, dan engkaulah orang kafir.”

Imam Ibnu Hajar pun menjawab, “Mengapa bisa begitu, wahai Ahli Kitab yang malang?”

Jelas si Yahudi, “Engkau dalam kondisi yang menyenangkan. Pakaianmu bagus dan nyaman. Kendaraanmu mewah dan mahal. Makananmu lezat dan bergizi.” Simpulnya, “Itulah surga di dunia. Jadi, engkau orang yang kafir.”

“Sedangkan keadaanku,” lanjut si yahudi, “miskin harta. Tidak punya pakaian. Tiada memiliki harta. Badan pun bau dan hampir penyakitan.”

“Maka,” akunya dengan amat polos, “akulah orang yang beriman karena tengah merasakan neraka di dunia ini.”

Setelah mendengar dengan saksama, Imam Ibnu Hajar berkata, “Sudikah engkau jika aku menjelaskan makna hadits ini yang sebenarnya?”

“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin seperti diriku,” jelas Imam Ibnu Hajar, “sebab semua nikmat yang kurasakan di dunia ini tidak ada bandingnya dengan kenikmatan yang kelak kurasakan di surga-Nya.”

“Selain itu,” lanjut beliau, “ada begitu banyak batasan yang Allah Ta’ala berikan di dunia ini terkait makanan, pakaian, hunian, dan segala jenis kenikmatan di dunia ini. Sehingga, itu semua bermakna neraka. Sebab, di surga tidak ada batas lagi. Semuanya halal untuk dinikmati.”

“Adapun engkau,” tutur Sang Imam, “merasakan hidup yang susah. Makan tidak enak. Tidak punya kendaraan, mengalami kepayahan dan penderitaan. Tapi, kau masih bisa tidur jika mengantuk, mencari makan jika lapar, tertawa, terseyum, dan banyak aktivitas lainnya.”

“Betapa itu semua adalah surga,” terang Sang Imam, “jika di banding dengan siksa abadi di neraka; api yang membakar, siksa yang amat menyakitkan, minuman berupa air yang mendidih, dan lapar yang disuapi darah, nanah, dan zaqqum.”

Si Yahudi pun tak kuasa berkata sekata pun. Sembari menunduk, lisannya mengucapkan, “Asyhadu an laa Ilaha illalllah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.”

Imam Ibnu Hajar pun langsung turun dari kendaraannya, lalu memeluk saudara barunya itu sembari berkata, “Selamat datang, Saudaraku. Selamat atas hidayah yang datang kepadamu. Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah menyelamatkanmu dari api neraka.”

Simpul Salim A. Fillah saat mengisahkan kejadian ini dalam Lapis-Lapis Keberkahan, “Begitulah jiwa yang tersambung ke langit suci. Orang shalih itu mengilhami. Bahkan, ‘ejekan’-nya telah menyelamatkan insan dari gelapnya kekufuran menuju terangnya Islam.” [Pirman/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaKeajaiban Doa Rasulullah
Artikel berikutnyaAndai Tiada Ulama Ini, Mungkin Imam Syafi’i Menjadi Penyair Gelandangan