Mana yang Lebih Utama; Membaca Tasbih atau Istighfar?

0

Disebutkan oleh Sholikhin Abu Izzuddin dalam Bersama Ayah Meraih Jannah, seorang murid bertanya kepada gurunya, “Ustadz, manakah yang lebih dulu dan lebih utama; membaca tasbih atau istighfar?”

Kira-kira, apakah jawaban sang ustadz kepada santrinya? Apakah beliau sampaikan jawaban agar muridnya perbanyak tasbih, atau perbanyak istighafr, atau dua-duanya bersamaan?

Sang ustadz bertanya balik kepada santrinya itu, “Apa pendapatmu, jika pakaian kotor; dicuci terlebih dahulu atau disemprot dengan minyak wangi?”

Dengan lugas dan pasti, sang santri menjawab, “Tentu saja dicuci dulu, Ustadz.”

“Begitulah,” terang sang ustadz, “bila hati kotor oleh noda dan dosa, maka perbanyak membaca istighfar lebih utama daripada menghiasi diri dengan bacaan tasbih.”

Tak bisa dipungkiri, dosa kita sangat banyak. Mungkin, seperti nikmat; yang mustahil dihitung dengan jari, satu-persatu, dan detail. Sangat banyak. Melimpah. Dan seringkali; membinasakan. Sayangnya, kita lebih sering melupakan dosa. Astaghfirullah…

Jika kita sebagai anak, bisakah hitung dosa yang telah tertoreh atas perlakuan zalim dan durhaka kita kepada ayah dan ibu yang telah membesarkan kita? Bisakah kita hitung, berapa berat beban sang ibu saat mengandung diri kita selama sembilan bulan lebih? Kemudian, bagaimana perjuangannya saat melahirkan kita dengan taruhan nyawanya yang hanya satu-satunya itu?

Berat. Sangat berat. Dan saat besar, kita justru menzalimi dan durhaka kepadanya; sengaja atau tidak, besar atau kecil, sembunyi atau terang-terangan. Banyak sekali. Dan konyolnya, kita sering melupakan dosa-dosa itu, justru merasa telah berbuat kebajikan dan kebijakan yang banyak kepada ayah dan ibu kita. Astaghfirullah…

Pun, jika kita sebagai orag tua. Sering merasa benar, menolak disalahkan, menganggap anak selalu salah, maunya dimengerti, padahal seharusnya lebih bijak dalam bersikap. Bahkan dalam banyak kasus, ada begitu banyak orang tua yang telah mendurhakai anaknya jauh sebelum anak-anak itu ada di rahim sang ibu.

Dan, ketika sang anak lahir menjadi sosok yang durhaka pula, ia justru sibuk menyalahkan anak dan menuduhnya sebagai pelaku kejahatan yang layak dinerakakan, padahal sebab utama dari itu semua adalah kesalahan dirinya; baik dalam memilih pasangan hidup, dan perlakuan-perlakuan zalim yang lain kepada anak di sepanjang kehidupannya.

Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah… [Pirman]

Artikel sebelumnyaOrang-orang yang Membakar Dirinya Sendiri
Artikel berikutnyaPetuah Ayah Serigala kepada Anaknya