Lanjutan dari Lima Hal yang Pasti Ditanyakan di Hari Kiamat
Harta
Dua pertanyaan terkait harta; dari mana mendapatkannya, bagaimana memanfaatkannya.
Apakah harta kita diperoleh dengan cara menipu, mencuri, melakukan korupsi, menyuap banyak pihak atau cara-cara tercela lainnya? Ataukah kita mendapatkannya dengan cara yang tidak terhormat berupa mengemis, meminta-minta, melakukan pungutan liar, mengurangi timbangan, menipu dalam perniagaan, dan hal sejenis lainnya?
Maka yang terbaik adalah mendapatkan harta dengan cara yang baik, halal, dan berkah. Inilah harta yang bermanfaat di dunia dan akhirat, meskipun dalam banyak kasus; jumlahnya sedikit dan seringkali pas-pasan.
Setelah mendapatkannya, bagaimana memanfaatkannya?
Pertama, mendapatkan dengan cara buruk dan memanfaatkannya untuk keburukan. Bentuknya, mereka melakukan korupsi atau pencurian hak rakyat, kemudian menggunakannya untuk minum-minuman keras, zina, hura-hura, foya-foya, dan sejenisnya.
Kedua, mendapatkan dengan cara yang buruk, tapi memanfaatkannya untuk kebaikan. Ini seperti kisah seorang yang bersedekah dengan hasil curian. Dan, Allah Ta’ala tidak menerima kebaikan kecuali dengan cara dan sumber yang baik pula.
Ketiga, mendapatkan dengan cara yang baik dan menggunakannya untuk keburukan. Bisajadi, ia adalah seorang kuli yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya semata. Maka, harta halal yang didapatkannya itu habis untuk berjudi, ikut pesta minuman keras, atau kesia-siaan dan maksiat lainnya.
Keempat, mendapatkan dengan cara yang baik dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Inilah orang yang beruntung. Mereka menjemput rezeki dengan cara yang baik dalam perniagaan atau bekerja kepada orang lain dengan memperhatikan segala jenis ketentuan syariat terkait harta, kemudian memanfaatkannya di jalan Allah Ta’ala dengan keihklasan terbaik. Alhasil, setiap rupiahnya menjadi tabungan kebaikan yang menyelamatkannya di akhirat kelak.
Ilmu
Dari sekian banyak ilmu, apa saja yang diamalkan? Apakah ilmunya hanya koleksi, agar disebut dan dipuji sebagai orang yang berilmu, atau hanya untuk mendapatkan recehan duniawi dari ilmu yang didapatkannya dengan susah payah itu?
Ataukah ilmu itu diamalkan dengan baik sebagaimana diajarkan oleh Nabi dan generasi-generasi terbaik setelahnya; mengamalkan ilmu untuk kebaikan dan kesejahteraan orang lain; menggunakannya untuk memasifkan kebaikan; dan semakin mendekatkan diri dan orang-orang sekitarnya kepada Allah Ta’ala. [Pirman]