Yang terhormat, Engkong Haji Wapres Jusuf Kalla. Semoga selalu dalam iman, Islam, dan dikaruniai nikmat kesehatan sehingga mampu menjalankan aktivitas sehari-sehari sebagai hamba Allah Ta’ala dengan baik.
Engkong Haji, apa kabar? Semoga selalu sehat bugar. Agar tak sampaikan pernyataan yang menyakitkan, dan tidak menghasilkan kebijakan yang membuat tercekik rakyat jelata yang semakin tak berdaya.
Gini, Kong. Ada yang ingin saya sampaikan terkait isu ‘polusi udara’ yang sempat ramai sepekan terakhir ini. Saya tidak tahu asal-muasalnya dari mana, dan media mana yang mulai ‘menggorengnya’ hingga menenggelamkan berita bahwa Engkong Haji disebut oleh Bu Sri Mulyani dalam penyidikan kasus Century tempo hari.
Apalagi memang, sejak menikah, saya tidak terlalu suka mengikuti berita-berita yang kebanyakannya tak bermanfaat itu. Saya lebih suka ngobrol dengan Mang Yadi, Kong Majid, Bang Kiman, atau tetangga-tetangga lain sambil main layang-layang, atau pas menghadiri acara tahlil di rumah tetangga.
Jadi, pas di pesantren sebelah ada pengajian, Kiyainya bilang begini, “Pemerintah sekarang ini, orang nyetel pengajian di masjid saja dibilang polusi udara.” Nah, dari situlah saya tertarik untuk sedikit mengikuti apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga, saya menemukan asbabul kalamnya Engkong Haji Wapres. Bahwa Engkong bertanya, “Gimana hukumnya, orang-orang yang membunyikan pengajian di masjid dengan suara yang keras, bahkan memungkinkan mengganggu orang-orang yang baru pulang bekerja, dan tetangga masjid.” Kira-kira, maksud Engkong seperti itu, kan?
Persoalannya memang, Engkong terlalu peduli hingga ngurusi yang begituan, dan wartawan yang memang mustahil memuat pernyataan secara keseluruhan. Yang kedua ini, Engkong Haji lebih tahulah. Saya tidak akan berspekulasi atau berburuk sangka. Kan, wartawan dan medianya memang punya visinya masing-masing.
Nah, inti dari kisah yang ingin saya sampaikan, adalah kejadian yang saya alami beberapa tahun lalu sebelum merantau di Depok Jawa Barat, dan sekarang tinggal sementara bersama istri pertama di Tangerang Banten.
Dulunya, saya anak kampung. Di pinggiran Pemalang bagian utara, di ujung kecamatan Ulujami. Desa saya itu, Kong, jaraknya tak lebih dari dua kilometer dengan laut jawa. Pas kebetulan, dulu waktu saya sering ikut tadarus di masjid kami itu, ada orang dan kelompok yang entah apa maksudnya menyampaikan hal yang sama dengan penyampaian Engkong Haji Wapres.
Dia itu, persis mengatakan, “Siapa yang mengaji sampai tengah malam? Siapa yang berisik ngaji di dini hari? Gak tahu apa orang lagi pada tidur?” Dan kalimat-kalimat lain, serupa dengan penyampaian Engkong Haji.
Nah, dia dan kelompoknya itu, Kong, boro-boro ke masjid. Sebagian mereka berprofesi sebagai nelayan, sebagian lainnya ikut bertani tambak, dan sebagian besarnya kerja serabutan. Uniknya, mereka ini malah gak pernah menginjakkan kakinya ke lantai masjid. Hanya di halaman dan samping, itu pun hanya lewat. Bukan menetap.
Selain itu, dia dan kelompoknya itu suka mabuk-mabukan, bahkan sering memukul dan memarahi orang lain lantaran hilangnya kesadaran mereka itu.
Sebaliknya, saat tak ada suara mengaji atau membangunkan dari masjid (untuk sahur atau shalat Subuh), sebagian kaum Muslimin yang taat saling bertanya ke saya, “Semalam kok gak ada yang ngaji? Pada kesiangan ya?” Sebab, mereka merindukan kalam Allah Ta’ala diputar terus menerus, dan kesiangan lantaran tak ada yang mengaji di masjid.
Selain itu, anaknya Emak Muji yang Nashrani itu, justru sering bertanya jika remaja masjid kesiangan, “Eh, kalian kesiangan ya? Biasanya saya bangun nyiapin sahur untuk Emak pas kalian ngaji. Semalam jadi terlambat sahur gara-gara kalian tidak ngaji.”
Asal Engkong tahu aja nih ya, di kampung saya itu biasa mendengarkan adzan dari banyak masjid dari kampung sebelah, yang kalau dihitung; semalam suntuk tak pernah sepi dari suara pengajian dari banyak masjid itu. Hal lainnya, sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani yang mulai berangkat ke kebun di awal pagi, dan nelayan yang beranjak ke laut sejak dini hari.
Tetapi ya itu, kami malah diprotes kalau kesiangan dan tidak ngaji, dan yang memrotes kami saat ngaji justru dari orang dan kelompok tak jelas sebagaimana saya sebutkan di atas.
Gitu aja, Engkong Haji. Jika kisah ini tak sampai kepada Engkong, setidaknya saya sudah menuangkan kegundahan hati sebab perkataan Engkong membuat saya teringat kampung halaman, sementara ongkos mudik makin mahal. [Pirman/Kisahikmah]