Ulama Rabbani ini tergolong dalam kelompok tabi’in, pengikut sahabat Nabi. Beliau dididik langsung oleh generasi terbaik didikan Rasulullah Saw ini dan sempat bertemu dengan 50-an orang dari mereka. Karenanya, beliau tumbuh menjadi sosok yang amat baik hubungannya dengan Allah Ta’alaa dan menjadi teladan dalam banyak bidang kehidupan.
Ulama ini berasal dari negeri Yaman. Hampir tiap detik yang dilaluinya, tak pernah kosong dari penghambaan kepada Allah Ta’alaa. Baik dengan perbanyak dzikir maupun ibadah lainnya. Saat malam menjelang, qiyamullail yang sunah tak pernah ditinggalkannya. Karenanya pula, beliau diriwayatkan tidak pernah tidur di waktu sahur hingga datangnya Subuh.
Ibnu Abbas yang merupakan salah satu sahabat terbaik Rasulullah Saw dan pernah hidup sezaman dengan Ulama ini, pernah berkomentar memuji, “Aku sangat menduga bahwa ia termasuk salah satu ahli surga.” Sahabat yang lain pernah mendatanginya seraya berujar, “Doakanlah kami, wahai hamba pilihan Allah.”
Keshalehannya dalam ibadah ritual terbawa dalam keseharian hingga menjelang akir hayatnya. Beliau dikaruniai umur yang panjang hingga hidup di zaman Khalifah Hajjaj bin Yusuf yang terkenal bertangan besi; keras terhadap lawan politik dan siapapun yang tak sependapat dengannya. Karena hal itu pula, tidak ada yang berani mengkritiknya secara terang-terangan.
Namun, tidak demikian dengan sang Ulama Rabbani ini. Dalam ceramah-ceramahnya, beliau tak segan mengkritisi khalifah ketika kebijakannya tidak tepat sasaran. Hal inilah yang membuat sang khalifah geram sehingga memberikan peringatan kepadanya.
Khalifah Hajjaj pun mengirimkan salah satu utusannya. Sesampainya di rumah sang Ulama, utusan khalifah berkata, “Aku diutus oleh Khalifah Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan ini,” ujarnya sambil menyerahkan uang tunai sejumlah 700 dinar. Tidak melirik sedikit pun, sang Ulama berujar singkat, “Aku tidak membutuhkan uang itu.”
Utusan itu terus mendesak agar Ulama itu menerima uang dari Khalifah Hajjaj. Hingga akhirnya, karena sang Ulama bersikukuh untuk menolak, utusan ini meletakkan uang tersebut di salah satu ruangan di rumah sang Ulama.
Utusan itu pun menghadap kepada tuannya dengan laporan bahwa perintahnya sudah dilakukan secara sempurna. Hingga beberapa bulan kemudian, sang Ulama kembali mengkritk keras salah satu kebijakan Khalifah Hajjaj.
Gerah dengan kritikan sang Ulama, Hajjaj pun kembali mengirimkan utusan. Tujuannya untuk mengambil kembali 700 dinar yang pernah diberikannya. Dengan pongah, utusan itu berkata, “Mana harta pemberian Khalifah Hajjaj?” Dengan tenang, sang Ulama menjawab, “Aku tidak tahu.”
Lanjut utusan itu, “Bukankah kau menerimanya?” Jawab sang Ulama, “Aku tidak menerima uang dari siapapun.” Tanya utusan itu lagi, “Dimana kau letakkan harta itu?” Karena mengingat kedatangan utusan pertama beberapa bulan lalu, Ulama ini berkata santai, “Coba lihat di sana,” sembari menunjuk ke salah satu ruangan di rumahnya itu.
Selepas diperiksa ke ruangan tesebut, ternyata uang 700 dinar masih utuh di tempat ketika pertama kali diletakkannya. Bahkan posisinya tidak bergeser sedikit pun!
Beliau yang tidak melirik sedikit pun terhadap uang 700 dinar itu, yang jika dikurskan dengan harga emas saat ini nilainya sekitar 1,2 Milyar itu, adalah Abu Abdurrahman Thawus bin Kaysan al-Yamani.
Duh, rindunya kita akan sosok seperti ini. Bahkan di zaman ini, banyak orang yang justru menjadian korupsi sebagai salah satu ‘amal unggulannya’, hingga bernilai triliunan rupiah. [Pirman]