Ada begitu banyak pilihan yang bisa dilakukan oleh seorang manusia ketika cinta menyapanya. Sebab cinta adalah perasaan alami yang menyambangi seluruh manusia sebagai sebentuk fitrah. Maka yang menjadi penentu adalah bagaimana seseorang dalam menyikapi cinta yang bertamu itu.
Ada di antara mereka yang menyikapi kedatangan cinta dengan melakukan tindakan negatif. Yakni mengungkapkannya langsung meski umur dan kemampuan belum memadai, kemudian mengajak sosok yang dicintainya berpacaran, hingga terjadilah hal-hal negatif yang amat disukai oleh setan yang terlaknat.
Selain itu, ada juga yang menyikapi kedatangan cinta dengan baik. Ia melakukan banyak aktivitas positif; mematangkan diri dan menebarkan kemanfaatan bagi sekitarnya. Bahkan, ada sosok yang bergegas mengikuti jihad guna menghindarkan diri dari cinta yang menyapa sebelum masanya atau terhalang karena satu dan lain sebab.
Berikut kisah pemuda dalam Raudhatul Muhibbun karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang dikutip oleh Rahmat Idris dalam Dua Jiwa Satu Surga. Ia mengikuti jihad untuk menjaga diri dari cinta yang tak semestinya.
Di’bil adalah seorang penyair ternama di zaman itu. Ia mengikuti sebuah pertempuran besar di masanya. Ketika terompet tanda pertempuran dimulai, Di’bil bergegas bergerak serentak bersama prajurit-prajurit perkasa lainnya.
Ketika tengah berjalan, ada sosok yang bertanya lantang kepadanya, “Engkaukah penyair ternama di kalangan kami yang bernama Di’bil?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Jika demikian,” lanjut sang pemuda nan gagah itu, “dengarkanlah syairku.”
Sang pemuda pun melantunkan syair-syair yang ia gubah di tengah kecamuk perang itu.
Berkenaan dengan perkara ini, aku amatlah sadar
Aku tengah berada di tengah peperangan dan jihad
Tubuhku sibuk menerjang musuh-musuhku
Sementara cinta terus menyerang ke dalam hatiku
Sejenak, ia berhenti. Lalu dikeluarkanlah senjata yang akan digunakan untuk menyerang musuh, tombak. Tanyanya kepada Di’bil sebelum berlalu, “Bagaimana pendapatmu tentang syairku?”
Jawab sang penyair ternama mengapresiasi, “Bagus.”
Pemuda nan gagah itu pun mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengikuti peperangan ini melainkan karena ingin berlari dari cinta.”
Selepas itu, sang pemuda gagah perkasa pun merangsek menyergap musuh di pusat pertahanannya. Ia mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk menebas leher musuh. Hingga akhirnya, disebutkan dalam Dua Jiwa Satu Surga, “Akhirnya dia gugur di dalam peperangan itu.”
Tak kita jumpai keterangan; apakah ia diganjari syahid ataupun tidak. Tapi satu yang menjadi kepastian; sang pemuda berupaya menjaga diri dari cinta dengan melakukan aktivitas positif berupa jihad. Semoga niatnya ikhlas hingga surga dihadiahkan kepadanya. [Pirman]