Lidah memang tak bertulang, tapi ia lebih tajam dari sebilah pedang. Jika luka fisik bersebab sayatan pedang mudah disembuhkan dengan obat medis dan seiring berjalannya zaman, namun tatkala hati yang tersakiti karena ucapan, sengaja atau tidak, bekasnya akan senantiasa ada. Persis seperti paku yaang menancap; jejaknya tetap ada meski pakunya telah dilepas.
Karenanya, Rasulullah Saw mewasiatkan agar umatnya menjaga lisan. Dalam sebuah petuah mulianya, lisan menjadi satu diantara dua hal yang menjamin keselamatan seseorang setelah kemaluan. Dalam nasihat yang lain, beliau perintahkan agar umatnya hanya mengatakan kebaikan atau diam jika memang tak mampu sampaikan kebajikan.
Terkisahlah seorang Shaleh di sebuah zaman. Ibnu Athailah as-Sakandari mengisahkan ini dalam “al-Hikam”-nya yang monumental itu. Sang Shaleh adalah sosok yang membagi harinya untuk dua hal; bekerja dan ibadah. Bekerja tuk penuhi kebutuhan jasadnya akan makan dan minum, sedangkan ibadah untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya dalam rangka mengabdikan diri kepada Alla Swt.
Dalam setiap hari kerjanya, ia hanya mendapatkan dua potong roti yang dicukupkan untuk makan saban siang dan malam hari. Barangkali karena lintasan pikiran yang didasari keinginan sang Shaleh untuk lebih rajin dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Swt, suatu hari ia berkata, “Jika aku bisa mendapatkan dua roti saban hari tanpa bekerja seharian,” janjinya amat yakin, “aku akan lebih leluasa dalam beribadah kepada Allah Swt di sepanjang harinya.”
Selepas ucapan itu, sang Shaleh tetap menjalani hari-harinya dalam kerja dan ibadah. Hingga pada suatu ketika, ia terlibat dalam suatu masalah. Selepas dibawa kepada pihak yang berwajib, ia dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. Karenanya, ia harus mendekam dalam jeruji besi.
Di dalam jeruji besi itu, ia berhak mendapatkan dua potong roti setiap pagi dan sore. Kejadian ini persis seperti doanya: mendapatkan dua potong roti setiap hari tanpa bekerja. Dalam beberapa hari pertama, sang Shaleh bisa melakukan ibadah dengan leluasa. Namun, lambat laun, kehidupan dipenjara yang dipenuhi dengan siksaan sebagai hukuman membuatnya merasa semakin berat menjalani kehidupan di dalam jeruji besi itu.
Dalam hening selepas disiksa itu, sang Shaleh merenung. Kemudian teringatlah ia akan perkataannya tempo hari. Akhirnya, ia memperbanyak istighfar meminta ampun kepada Allah Swt atas keterpelesetan lisannya kala itu.
Bisajadi sang Shaleh ini lupa, bahwa bekerja bisa juga diniati ibadah. Namun, di luar itu semua, Allah Swt ingin memberikan hikmah yang amat berharga bagi siapa yang mau memungutnya. [Pirman]