Beruntungnya menjadi orang Islam; kemuliaan tidak ditentukan berdasarkan jumlah harta, tampang semata, keturunan ningrat, atau tingginya jabatan. Islam menganggap mulia siapa yang paling besar dan bagus kualitas takwanya kepada Allah Ta’ala.
Takwa yang dibuktikan dengan menjalankan perintah Allah Ta’ala dan sunnah Nabi-Nya, serta menjauhi semua hal yang dilarang oleh-Nya. Takwa yang bagi pelakunya-selain janji kemuliaan-berhak mendapat kemudahan hidup, jalan keluar atas persoalan yang dihadapi, dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Maka selama ada takwa; apa pun profesinya tak menjadi masalah. Pun, jika dalam kehidupan sehari-hari hanya berprofesi sebagai penulis, presiden, karyawan, pejabat negara, pengusaha, atau pun hanya seorang kuli panggul.
Dikisahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dalam ‘Uddatush Shabirin, Imam Bakar bin Abdullah al-Muzanni mengisahkan seorang kuli panggul yang disebutkan, “Ia jauh lebih fakih (mengerti dan paham hukum-hukum agama) daripada aku.”
Mengapa beliau mengatakan seperti itu? Apakah amalan yang telah menjadi wirid sang kuli panggul dalam kehidupan sehari-hari?
Imam Bakar bin Abdullah melihat sang kuli panggul tengah memanggul barang bawaannya. Diamati, rupanya mulutnya komat-kamit mengucapkan suatu kalimat. Rupanya, yang diucapkan oleh sang kuli panggul adalah kalimat thayyibah, “Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), dan astaghfirullah (Aku memohon ampun kepada Allah).”
Tak mau mengganggu, beliau pun menunggu sang kuli hingga meletakkan barang bawaannya. Kemudian setelah diletakkan, beliau bertanya, “Apakah engkau bisa membaca selain dua kalimat itu?”
“Bisa,” jawabnya singkat. Jelasnya kemudian, “Bahkan ada kalimat yang lebih baik dari dua kalimat itu, yaitu apa yang terdapat dalam Kitab Allah Ta’ala (al-Qur’an).”
“Akan tetapi,” lanjut sang kuli panggul, “seorang hamba selalu berada di antara nikmat dan dosa.” Karenanya, “Aku memuji Allah Ta’ala atas nikmat-Nya dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas dosa-dosaku.”
Demikianlah yang menjadikan Abdullah bin Bakar mengatakan bahwa kuli panggul itu lebih fakih dari dirinya. Sebab, dalam penampilan dan pekerjaannya yang nampak rendahan itu tersimpan pemahaman yang baik atas apa yang terkandung dalam Kitab Allah.
Karenanya, kuli panggul itu memahami bahwa hidup berada dalam nikmat dan cobaan yang bisa mengantarkannya ke dalam perbuatan dosa. Sehingga harus senantiasa bersyukur dan meminta ampun atas dosa-dosa yang dilakukan. [Pirman]