Alangkah bahagianya sang Raja ketika istrinya melahirkan sesosok anak laki-laki. Ialah yang kelak mewarisi kepemimpinan di kerajaannya itu. Wajahnya sumringah saban hari, kedermawanan dan kebaikannya terus mengalir bagai air, nan merata bagai angin.
Bersebab itu pula, sang Raja amat jarang bertugas ke luar kerajaan. Ia delegasikan semua tugas keluar kepada para menterinya, kecuali yang memang tak terwakilkan. Ia habiskan waktu untuk membersamai puteranya itu.
Hari bertambah, waktu berlalu. Bertumbuhkembanglah sang putera menjadi remaja hingga dewasa. Dalam tahap itu, kekhawatiran sang Baginda mulai terbaca. Bukan sebab anak lelakinya itu tak bertumbuh dengan sempurna, tetapi lantaran tak terbacanya sifat dan sikap kepanglimaan pada anak semata wayangnya itu.
Ia bertumbuh, tapi tak terbaca padanya sifat kepanglimaan. Fisiknya bertambah, tapi tak terdapat sedikit pun sikap yang menunjukkan kepemimpinan dan kepiawaiannya dalam memimpin kerajaan. Itulah penyebab gusarnya sang Ayah. Lalu, dikumpulkanlah orang kepercayaannya untuk dimintai solusi.
Lepas bebarapa pekan, dihadirkanlah banyak wanita di lingkungan kerajaan. Sertamerta, istana bak taman berbunga nan mewangi. Sejauh mata memandang, ditemukanlah sosok cantik menwan nan memesona. Tujuannya, agar anaknya jatuh cinta kepada salah satu diantara mereka.
Strategi ini terbilang jitu. Berbilang waktu, sang anak meletakkan hatinya kepada salah satu wanita yang didatangkan oleh sang Ayah. Tepat sebelum menyatakan sayangnya, sang Ayah berpesan kepada wanita-wanita itu, “Jika puteraku nanti menyatakan cinta kepada siapa pun di antara kalian, maka jawablah dengan sebuah penjelasan. Bahwa puteraku itu tak layak mencintai siapa pun karena ia tak memiliki sifat kepanglimaan dan sikap sebagai seorang pemimpin.”
Tak lama selepas itu, sang putera Raja menyatakan cintanya. Wanita yang dijadikan labuan hati sang putera Raja pun menjawab, “Maaf Tuan, cintamu tak layak. Cintamu hanya akan diterima ketika kau memiliki kualifikasi sebagai seorang Panglima perang. Cintamu hanya layak ketika kau telah memiliki sikap kepemimpinan dan layak mewarisi kerajaan ini.”
Maka jawaban sang wanita yang dicintainya itu ibarat pelecut semangat yang tiada duanya. Ialah sebentuk motivasi terembunyi yang amat efektif. Hingga akhirnya, sang putera benar-benar berubah dan gigih untuk melayakkan dirinya menjadi pewaris kerajaan.
Begitulah sejatinya cinta. Ialah sesuatu yang mengahsilkan kebaikan. Jikasaja, ada yang mengklaim mencintai atau dicintai, kemudian sosoknya tak bertambah baik, mungkin cintanya hanyalah nafsu atau palsu belaka.
Dalam hal ini, yang amat beruntung adalah orang beriman. Mereka mencintai Allah Swt dan menjadikan-Nya sebagai motivasi utama. Sehingga ia terus bertumbuh, berkembang dan mempersembahkan semuanya kepada Allah Swt yang dicintainya.
Ia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Orang-orang beriman itu, tidak sedetik pun hidup sesuai maunya. Selamanya, dalam tiap jenak, ia hidup sesuai dengan Mau-Nya Allah Swt. [pirman]