Ketika usia janin genap empat bulan, Allah Ta’ala meniupkan ruh ke dalamnya. Bersamaan dengan itu pula, Allah Ta’ala menetapkan baginya rezeki, jodoh, ajal, dan semua jatah hidupnya. Alhasil, dari hal ini, kaum Muslimin sudah selesai tatkala membahas takdir.
Bahwa Allah Ta’ala akan mencukupi semua kebutuhan kita sebagai hamba-Nya. Allah Ta’ala juga akan memberikan yang terbaik kepada semua hamba-Nya. Bahkan, semua yang bernyawa akan mendapatkan jatah rezeki, dan baru akan habis jatahnya ketika ajal menjemputnya.
Maka kaya dan miskin, bukanlah persoalan yang perlu dibesar-besarkan. Apalagi diperdagangkan sedemikian rupa dalam bentuk seminar, pelatihan, dan sejenisnya yang seakan-akan meniupkan pemahaman, “Miskin itu buruk, dan harus dihindari. Dan kaya adalah pangkal kebaikan, sehingga harus dikejar hingga tetes darah penghabisan.”
Pasalnya, sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ada begitu banyak sahabat yang kaya raya dan dijamin masuk surga; banyak pula sahabat yang miskin dan terjamin pula surga baginya. Dan, ketika itu, tak ada sahabat yang sibuk melakukan seminar-seminar yang seakan menentang orang miskin dan mereka harus dibasmi dari muka bumi.
Karena itu, pahamilah dengan baik sebagaimana diajarkan oleh al-Qur’an dan sunnah Nabi. Bahwa yang terpenting bukan kaya atau miskinnya, melainkan takwanya.
Sebab, orang kaya yang bertakwa, maka ia akan menggunakan kekayaannya untuk mensyukuri nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan dengan memanfaatkan untuk kepentingan dakwah di jalan-Nya.
Sedangkan orang miskin yang bertakwa, maka mereka akan menjalani hidupnya dengan bersabar seraya mengupayakan kehidupan terbaik. Bagi mereka, bekerja sudah menjadi sebuah ibadah. Sehingga hasil tidak terlalu penting. Bahkan dalam banyak kasus, upaya rezeki untuk mendatangi seseorang jauh lebih besar dari upaya seseorang menyambutnya.
Dalam catatan sejarah pula, banyak orang kaya yang dijerumuskan ke dalam neraka lantaran kesombongan. Mereka menjalani hidup dengan sia-sia, bermewah-mewah, foya-foya, dan maksiat harta lainnya.
Pun, banyak orang miskin yang terjamin neraka sebab senantiasa mengeluh, menjalani hidup dengan meminta-minta, bahkan menggadaikan akidah dengan harta dunia yang tak seberapa demi memenuhi perutnya dengan makanan.
Sebagai penutup, perhatikanlah firman Allah Ta’ala dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Baghawi sebagaimana dikutip Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam ‘Uddatush Shabirin, “Sesungguhnya di antara hamba-Ku ada orang yang hanya layak menjadi orang kaya; yang seandainya Kujadikan miskin, pastilah kemiskinan itu akan merusaknya. Sesungguhnya di antara hamba-Ku ada orang yang hanya layak menjadi orang miskin, yang seandainya Kujadikan kaya, niscaya kekayaan itu membuat dirinya rusak. ” [Pirman]