Lelaki ini sudah memasuki usia senja. Kepala empat. Suatu hari, dia berjalan di tengah keramaian orang. Oleh salah seorang di antara mereka yang tengah duduk santai, dilontarkanlah panggilan yang bernada ejekan, “Ya Syaikhul Islam…” Padahal, saat itu, ilmu, aqidah, akhlak, dan semua yang ada pada diri si laki-laki amatlah jauh dari sebutan Syaikhul Islam.
Mendengar panggilan yang lebih kepada gurauan itu, sang lelaki pun bergumam dalam hatinya, “Aku harus berubah dan sungguh-sungguh berusaha agar benar-benar menjadi Syaikhul Islam sebagaimana yang mereka katakan.”
Dalam bilangan tahun kemudian, Allah Ta’ala pun mengabulkan niat sang lelaki itu. Laki-laki yang digelari oleh kaum Muslimin dan ulama-ulama pada masanya itu sebagai Syaikhul Islam adalah Imam Abu Zakariya al-Anshari yang bermadzhab Syafi’i.
Banyak lagi kisah serupa. Begitu melimpah teladan dari orang-orang besar yang bermula dari keburukan yang ditimpakan kepadanya. Karena sejatinya, semua yang dilakukan oleh orang lain hanya berdampak sebagaimana kita bersikap. Pun keburukan. Jika ianya disikapi dengan bijak, maka hasil akhirnya adalah kebaikan yang amat melimpah.
Sebagaimana pula yang dialami oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, yang pernah diledek oleh perampok hingga beliau menjadi salah satu ulama agung kebanggan kaum Muslimin lintas generasi.
Kisahnya, penulis Ihya’ ‘Ulumuddin ini pulang dari Syam menuju Iraq. Di atas unta yang dinaiki, beliau menyertakan satu karung besar berisi seluruh catatan selama belajar. Di tengah jalan, kafilah yang diikuti Sang Imam dihadang oleh sekelompok perampok.
Ketika tiba giliran Imam al-Ghazali untuk disita bawaannya, beliau berkata, “Ambil semua. Tapi, tolong sisakan karung itu.”
Perampok pun semakin penasaran karena dicegah. Menurut mereka,karung besar itu pasti berisi benda-benda berharga yang bernilai tinggi. “Memangnya apa isi karung itu?” bentak perampok kepada Sang Imam.
“Aku menyimpan semua catatanku selama belajar di sana.” Sahut Imam al-Ghazali.
“Jadi,” lanjut perampok, “jika kuambil karungnya, tiada lagi ilmu yang kaumiliki?”
“Benar,” jawab Imam al-Ghazali.
“Jika demikian,” ejek perampok kurang ajar, “untuk apa engkau belajar jika ilmumu ada di catatan, bukan berada pada dirimu?”
Persis setelah kejadian itu, Imam al-Ghazali pun semakin giat untuk menghafal semua ilmu yang beliau dapatkan hingga berhasil menjadi salah satu cahaya zaman yang senantiasa menerangi kebodohan hingga akhir zaman kelak. [Pirman/Kisahikmah]
*Ditulis bebas dari ceramah Habib Ali Zainal Abidin al-Hamdi, Malaysia.