Tiada satu pun orang Islam yang tidak mengenal Imam an-Nawawi, kecuali karena bodoh dan malasnya diri dalam belajar. Laki-laki surga yang hanya berusia empat puluh lima tahun ini merupakan salah satu permata zaman. Beliau lahir di kota Nawa dan dijuluki sebagai orang yang menghidupkan agama, Muhyidin an-Nawawi.
Meski usianya tak melewati bilangan lima puluh tahun, beliau telah menulis banyak kitab yang menjadi rujukan bagi sebagian besar kaum Muslimin di berbagai penjuru dunia. Yang paling tipis, dan ini sudah dicetak jutaan kali di berbagai negara, adalah kumpulan hadits yang dikenal dengan Arba’in an-Nawawi. Ialah himpunan empat puluh dua hadits yang merupakan pokok-pokok dalam agama Islam yang mulia ini.
Padahal, ada banyak kitab hadits serupa itu. Tapi himpunan yang dibuat oleh sang imam benar-benar berkah sehingga syarahnya pun ditulis berpuluh kali oleh banyak ulama setelahnya.
Belum lagi jika membicarakan Riyadhus Shalihin yang fenomenal. Di negeri ini saja, lebih dari dua penerbit mencetaknya berulang kali dan tak pernah cukup. Apalagi jika dilanjutkan dengan pembahasan soal Syarah Shahih Muslim yang ditulis tanpa melihat kitabnya, tapi langsung meriwayatkan dari guru-guru beliau yang sanadnya tersambung langsung kepada Imam Muslim.
Betapa menakjubkannya. Padahal, usia beliau amat muda. Lalu, apakah yang menjadi rahasianya? Di antara yang menjelaskannya adalah penejelasan Syeikh Abdullah Azzam dalam Tarbiyah Jihadiyah.
Imam an-Nawawi menjalani masa hidupnya di negeri penuh keberkahan, Syam. Meski demikian, sang imam tidak pernah dijumpai memakan buah-buahan di negeri yang dibentangkan sayap malaikat di atasnya.
Didorong keingintahuan, salah seorang murid beliau pun bertanya, “Mengapa Tuan tidak memakan buah-buahan dari negeri Syam ini?”
“Di Syam,” jawab beliau penuh ketundukan, “ada kebun-kebun wakaf yang telah hilang. Maka,” lanjutnya dengan roman serius, “saya khawatir memakan buah-buahan dari kebun-kebun itu.”
Beliau menjaga diri dari yang haram. Tidaklah masuk sesuap pun atau sebutir rempah pun ke dalam mulut dan lambungnya, kecuali terpastikan kehalalannya. Bahkan, saking hati-hatinya, beliau tidak mau memakan harta penguasa, dan enggan bergaul dengan mereka.
Atas kehati-hatian itulah, Allah Ta’ala memilih Imam an-Nawawi di antara sekian banyak manusia di zamannya. Beliau belum tertandingi hingga kini. [Pirman/Kisahikmah]