Di antara murid Imam Syafi’i, Rabi’ bin Sulaiman awalnya paling lamban dalam memahami pelajaran. Ketika murid yang lain bisa paham dalam satu dua kali penyampaian, Rabi’ belum juga paham meski sang guru menyampaikan berulang-ulang.
“Sudah paham, Rabi’?” Imam Syafi’i dengan sabar memastikan Rabi’ bisa mencerna apa yang beliau ajarkan.
“Belum, Imam.”
Terkadang, Imam Syafi’i menambah jam pelajaran Rabi’ saat murid yang lain sudah pulang. Ia tetap bersabar menghadapi muridnya itu. Tak sekalipun ia marah atau membentaknya. Bahkan pernah beliau sampai mengulang 39 kali dan Rabi’ masih juga belum paham.
Suatu hari, Rabi’ keluar dari majelis Imam Syafi’i dengan perasaan bersalah, merasa mengecewakan gurunya. Rabi’ hampir putus asa. Namun, tidak demikian dengan Imam Syafi’i. Beliau memanggil Rabi’ ke rumahnya.
“Rabi’, maafkan aku. Sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika engkau masih belum paham juga, berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu. Aku juga akan mendoakanmu.”
Hari demi hari berganti. Waktu serasa cepat berlalu. Berkah kesabaran gurunya, kesungguhannya berdoa dan doa gurunya, Rabi’ menjadi cerdas akalnya dan kuat hafalannya. Beberapa tahun kemudian, Rabi’ bin Sulaiman menjadi salah satu ulama besar kebanggaan umat Islam.
Kitab Ar-Risalah yang kita kenal sebagai salah satu karya monumental Imam Syafi’i dan menjadi kitab pertama yang meletakkan pondasi ushul fiqih, Rabi’ bin Sulaiman-lah yang menulisnya. Memang itu karya Imam Syafi’i, ucapan-ucapan Imam Syafi’i, tetapi Rabi’ bin Sulaiman yang menulis dengan tulisan tangannya.
Kita yang memiliki amanah sebagai guru, sudahkah bersabar dan mendoakan murid-murid kita? Kita yang menjadi ustadz/ah, sudahkah mendoakan santri-santri kita? Kita yang menjadi dai, sudahkah mendoakan mad’u kita? Kita yang menjadi pembimbing atau pembina, sudahkah mendoakan binaan kita? Kita yang menjadi orang tua, sudahkah mendoakan anak-anak kita?
Segala kepintaran dan kepiawaian kita sesungguhnya tidak mampu mengubah orang lain dan menyentuh hati mereka. Bahkan kalaupun kita memberikan seluruh harta kita, tidak ada yang menjamin kita bisa mengikat hati mereka. Hanya Allah-lah yang kuasa mengubah hati mereka.
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 63)
Karenanya, mari terus bersabar dalam mendidik dan terus mendoakan mereka. Sebut nama-nama murid dan binaan kita dalam doa. Hadirkan wajah-wajah mereka dalam doa rabithah kita. Semoga Allah mengistiqamahkan kita semua, mengikat kita dalam cinta karena-Nya, dan kelak Allah mengumpulkan kita di surga-Nya. [Muchlisin BK/Kisahikmah]