Suatu hari, Abu Nawas sibuk. Lelaki penuh hikmah yang jenaka ini mondar-mandir. Terlihat mencari sesuatu. Lama. Sebab lamanya masa yang ia gunakan, banyak tetangganya yang bertanya penasaran. Tak sedikit pula di antara mereka yang mendekati. Lalu, mereka pun bergabung.
“Hai Abu Nawas,” seru salah seorang tetangganya, “apakah yang kaulakukan?”
Jawab laki-laki ini santai, “Mencari cincin.”
Laki-laki penanya pun turut serta. Berempati. Membantu sebisanya. Ikut mondar-mondir. Ke sana ke mari. Lama. Hingga, mereka pun kelelahan. Bosan.
“Memangnya,” tanya salah seorang di antara yang ikut membantu mencarikan cincin yang hilang itu, “cincinmu itu jatuhnya (kira-kira) di mana?”
Tanpa merasa bersalah, Abu Nawas menjawab santai, “Seingatku, cincin itu jatuh di dalam rumahku.”
Mendengar jawaban itu, orang-orang pun langsung berhenti dari pencariannya. Sebagian ada yang emosi, dan langsung pergi. Sedangkan sebagian lainnya tetap tinggal. “Jika jatuh di dalam rumah,” tanya satu di antara mereka, “mengapa engkau mencarinya di luar rumah?”
Sejenak menghela nafas, Abu Nawas pun sampaikan alasan, “Bukankah kita sering melakukan itu, saudara-saudaraku? Seringkali kita mencari penyebab di luar diri atas berbagai persoalan yang kita hadapi.”
Katanya mengakhiri, “Bahkan, kita menyalahkan pihak lain saat ditimpa masalah. Dan menjadikan orang-orang di luar diri sebagai penyebab utama atas persoalan yang melilit diri kita.”
Kisah ini kami riwayatkan dari salah satu ceramah Ustadz Yusuf Mansyur. Dan memang, hal itu sering kita lakukan, disadari atau tidak.
Saat sakit, misalnya, seringkali kita berpikir yang aneh-aneh dan rumit. Padahal, yang menjadi sebab utama atas sakit yang kita alami adalah zhalimnya diri terhadap tubuh. Baik makan sembarangan, mengonsumsi makanan dan minuman yang tak jelas halal dan haramnya, mengabaikan hak tubuh untuk istirahat, abai terhadap olah raga sebagai salah satu komponen utama penunjang kesehatan, bahkan tidak peduli terhadap ruhani sebagai faktor yang amat penting dalam mempengaruhi kesehatan badan.
Begitupun dengan banyak persoalan kehidupan lainnya. Kita terlalu mudah memberi maaf pada diri, tapi amat kejam dengan menisbatkan kekeliruan dan kezhaliman diri kepada pihak lain.
Bagi pribadi demikian, soalan hidupnya akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Soalan-soalan itu tidak akan pernah kelar, sebab hanya dihilangkan dampaknya. Pasalnya, cara paling efektif untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengatasi sebab utamanya. [Pirman/Kisahikmah]