Dr Muhammad ‘Ali Hasyimi menuturkan satu kisah pilu lantaran hilangnya nilai-nilai Islam terkait hak dalam bertetangga. Kisah ini nyata. Dan benar-benar terjadi di bumi yang kita huni ini. Hanya lantaran berebut mangga, seorang anak berani mencungkil mata temannya.
Tersebutlah seorang wanita. Sukarelawan. Dari Eropa. Ia ditugaskan di sebuah negara miskin di Afrika. Di sana, wanita ini bertugas sebagai salah satu perawat. Sebuah ujian yang berat. Apalagi, di benua hitam itu identik dengan kerasnya hidup sebab kemiskinan yang menjalar di segala lini kehidupan. Miris.
Masa berlalu, wanita ini menderita lumpuh dan hampir gila. Memang, ia bertugas di daerah wabah penyakit lantaran gizi buruk. Sedangkan sakitnya itu, bermula ketika dirinya menyaksikan perkelahian berdarah antara anak-anak di Afrika. Sebabnya, mereka berebut sebutir buah mangga.
Namun, lantaran emosi yang memuncak, satu di antara mereka nekat mencungkil mata temannya. Padahal yang berebut mangga masih usia anak-anak. Belum lebih dari delapan tahun. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kejadian menyayat hati ini, bisa jadi hanya satu kasus. Yang lainnya masih banyak. Di antara faktor utamanya, selain pendidikan yang memang tidak didapatkan, juga kelaparan akut yang terjadi di sebagian besar negera Afrika. Akibatnya, banyak wabah penyakit yang membunuh sebagian besar penduduk di benua itu.
Padahal, jika mau melihat secara menyeluruh, saat saudara-saudara sesama manusia di berbagai sudut bumi kelaparan, ada banyak manusia di belahan bumi lain yang justru kelebihan makanan. Baik yang bermewah-mewah, membuang-buang, pilah-pilih, dan lain sebagainya.
Tengok saja di Amerika dan Eropa sana. Betapa banyak di antara mereka yang berlebihan dengan membuang-buang makanan. Belum lagi di berbagai belahan negeri kaum Muslimin di kalangan saudagar-saudagar kaya yang tak peduli dengan Islam dan kaum Muslimin. Mereka dengan pongahnya hidup mewah, tidak peduli, dan memanfaatkan kekayaannya untuk foya-foya.
Dalam skala kecil, barangkali hal ini juga terjadi di keluarga dan masyarakat kita. Betapa banyak nasi yang kita buang hanya karena lauknya tidak enak? Betapa sering kita enggan mengonsumsi beberapa jenis makanan hanya karena selera dan nafsu yang dibuat-buat? [Pirman/Kisahikmah]