Di antara cara paling efektif untuk mendiskreditkan Islam dan kaum Muslimin di berbagai belahan bumi adalah dengan melakukan distorsi terhadap sejarah perjuangan Islam. Di Indonesia, distorsi terhadap sejarah Islam ini berbentuk pemalsuan waktu masuknya Islam, dan fitnah keji terhadap para dainya.
Misalnya, Wali Sanga yang merupakan dai pengamal syariat Islam dikisahkan dalam bentuk dongeng sebagi sosok-sosok yang tidak menjalankan syariat Islam, bahkan terkesan sesat dan menyesatkan.
“Dituturkan,” tulis Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah, “para Wali Sanga masih menjalankan ajaran Hindu.” Bentuk pengamalan ajaran Hindu yang difitnahkan kepada Wali Sanga itu, di antaranya; bertapa (di gungung, hutan, atau menunggui sungai) berbulan-bulan hingga tidak sempat mendirikan shalat lima waktu, dan berpuasa patigeni (tanpa makan sahur atau berbuka).
Para Wali Sanga yang menjadi tim dai impian dan belum dijumpai tandingannya di nusantara ini juga digambarkan sebagai tokoh Islam yang sudah menggapai derajak makrifat hingga terbebas dari menjalankan syariat Islam. Muaranya, umat Islam dipaksa untuk menelan mentah-mentah dongeng yang beredar secara massif tersebut.
“Para Wali Sanga,” lanjut Profesor Ahmad Mansyur, “juga didongengkan sebagai pemimpin umat yang tidak memahami nilai-nilai perdagangan atau kewirausahaan Islam.” Alhasil, mereka disamakan dengan Brahmana Hindu atau Biksu Budha yang memisahkan antara sisi dunia dengan ibadah. Sebab, perniagaan dan wirausaha, menurut mereka, merupakan dunia kotor yang bisa mengurangi derajat spiritual seorang hamba di hadapan Tuhannya.
Singkatnya, Wali Sanga didongengkan atas nama Islam, tetapi isi ajarannya tetap Hindu dan Budha. “Padahal,” simpul Profesor Ahmad Mansyur, “antara dongeng dan keaslian realita ajaran sejarahnya, Wali Sanga tidak demikian.”
Para Wali Sanga tetap berdagang sembari menjalankan aktivitas dakwah dan pencerahan kepada umat manusia di berbagai penjuru. Dari laba usahanya itu, mereka juga membangun masjid dan melawan perjuangan membebaskan Indonesia dari tangan para penjajah.
Di antara contohnya, Sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah merupakan pemimpin perlawanan bersenjata terhadap penjajahan Kerajaan Katolik Portugis guna merebut pelabuhan Jayakarta (kini menjadi Jakarta) pada tanggal 22 Juni 1527 yang bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 Hijriyah.
Semoga tulisan singkat ini membuka cakrawala berpikir kaum Muslimin sehingga berhati-hati dengan beragam dongeng dan bacaan yang beredar. Hendaknya melakukan validasi, agar tidak salah menafsirkan dan bertindak konyol. [Pirman/Kisahikmah]