Tiada yang selamat saat menghadap kepada Allah Ta’ala di Hari Kiamat selain orang-orang yang bersih hatinya. Merekalah yang menggunakan potensi hati untuk melakukan sebanyak dan sebagus mungkin amal shaleh dan mengoptimalkan fungsi hati dalam mengenali keburukan, dan tabiat jahatnya untuk menghindarinya sejauh-jauhnya. Inilah hati yang selamat, yang kelak mendapatkan surga yang seluas langit dan bumi.
Menjadi manusia itu mudah; tapi di dalamnya terdapat ujian yang berat. Sebab musuh utama manusia adalah setan terlaknat yang membisiki manusia dengan keburukan ke dalam hati dan pikiran hingga menjadi tindakan nyata.
Maka penting bagi manusia untuk senantiasa mempelajari kehidupan dan nasihat ulama’-ulama’ yang bersih hatinya. Tak perlu banyak jika tak dilakukan. Sebab mencukupkan dengan yang secuil untuk dikerjakan adalah jauh lebih baik.
Ibnu Athailah as-Sakandari yang monumental dengan nasihat ruhaninya dalam kitab al-Hikam adalah salah satu guru spiritual kaum muslimin. Nasihatnya diterima lintas generasi dan madzhab. Dengan sentuhan ruhani yang kental, nasihat ulama’ asal Iskandariah ini begitu inspiratif dan mudah dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari.
Terkait dengan menjaga kebersihan hati, beliau menyebutkan dua tanda rabunnya mata hati. Dua tanda ini merupakan satu kesatuan yang saling berkelindan. Jika keduanya dikerjakan oleh seorang hamba, maka yang paling pasti baginya adalah ketergelinciran di dunia dan kebinasaan di akhirat jika mati sebelum bertaubat.
“Mengejar sesuatu yang dijamin kepastiannya,” lanjut beliau, “dan melupakan kewajiban yang dibebankan kepadanya, adalah tanda dari rabunnya mata hati.”
Mengejar dan berambisi terhadap sesuatu yang pasti bisa berbentuk ambisius dalam menumpuk harta dan kekayaan, mengejar-ngejar jodoh hanya karena rupa, atau perbuatan lain yang berakibat pada menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Padahal, jodoh dan rezeki adalah kepastian yang sudah ditentukan sejak empat bulan di dalam kandungan. Maka sejauh apa pun dikejar, jika bukan jatahnya, sudah pasti ia akan terus berlari.
Dalam waktu yang bersamaan, sebab ambisi berlebihnya terhadap dunia, orang ini melupakan segala jenis kewajiban yang dibebankan kepadanya; lupa shalat hanya karena meeting dengan rekan bisnis, enggan zakat hanya karena sayang mengelurkan harta padahal sebelumnya tak memiliki apa pun, sampai melupakan kewajiban kepada orang tua yang memiliki hak diajak bicara, ditemui, juga dinafkahi.
Maka inilah penyebab rabunnya mata hati. Dan, kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari bahayanya. [Pirman]