Malam itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berjalan seorang diri di sebuah kawasan berbatu kota Madinah. Dekat dengan gunung Uhud yang bersejarah. Lamat-lamat, sahabat Abu Dzar al-Ghifari melihat bayangan kekasihnya itu. Tetapi, ia memilih agak bersembunyi. Khawatir mengganggu.
Rupanya, Nabi yang amat mulia itu sudah lebih dulu melihat bayangan sahabatnya. “Hai Abu Dzar,” panggil Nabi, “kemarilah…” Dalam jenak, Abu Dzar pun mendatangi Nabi. Bergegas.
“Aku tidak merasa bahagia,” sabda Nabi setelah Abu Dzar berada di dekatnya, “ketika suatu ketika diberi emas sebesar gunung Uhud ini, lalu dalam tiga hari berlalu masih tersisa padaku satu dinar saja.”
Jika Rasulullah memiliki emas sebesar gunung Uhud, beliau akan membagikan seluruhnya dan tidak akan merasa tenang jika masih tersisa satu dinar pun setelah tiga hari. Kemudian, jika memang masih tersisa, “Kecuali akan kugunakan untuk melunasi hutang, melainkan akan kubagi-bagi kepada hamba Allah seperti ini, seperti ini, dan seperti ini.”
Beliau mengatakan ‘seperti ini’ tiga kali sembari mengisyaratkan tangannya ke sebelah kanan, kiri, dan belakang.
“Sesungguhnya,” lanjut beliau seraya melanjutkan perjalanan, “orang-orang kaya akan menjadi miskin di Hari Kiamat, kecuali yang memerintahkan untuk membagikan hartanya seperti ini, seperti ini, dan seperti ini.”
“Akan tetapi,” pungkas beliau sebagaimana dikutip oleh Dr. Nawwaf Takruri dalam Keajaiban Jihad Harta, “Sungguh sedikit orang yang seperti itu.”
Dalam riwayat yang lain, beliau telah ditawari perbendaharaan harta. Tetapi, beliau menolaknya sebab tak ingin menukar akhirat dengan harta dunia yang diibaratkan seperti sayap seekor nyamuk. Padahal, jika pun mau, beliau pasti akan membagi-bagikannya kepada kaum Muslimin.
Karenanya, kita mendapati sosok teladan ini dalam keadaan tak berharta di akhir hayatnya. Bahkan sekeping dinar yang masih dimilikinya menjelang wafat masih diingat dan diperintahkan kepada keluarganya agar segera disedekahkan kepada yang berhak. Padahal, beliau berhak atas harta rampasan perang yang nilainya seperlima dari keseluruhan harta rampasan.
Padahal, Nabi menolak harta. Bukan miskin, tetapi memilih miskin. Bukankah seperlima harta rampasan perang jumlahnya sangat banyak? Tetapi, beliau menghamparkannya di tanah lapang dan diberikan kepada siapa yang berhak dan mau.
Demikian itulah teladan yang amat mulia. Tidak gila harta. Jika pun diberi karunia, maka tak akan bertahan lama di sakunya. Segera diinfaqkan kepada yang berhak, tanpa merasa enggan atau bermalas diri.
Lalu kini, keadaan kita amat jauh dari sunnah mulia tersebut. Banyak orang kaya, tetapi sedikit yang berbagi. Melimpah orang berharta, tapi sedikit yang mengamalkannya di jalan dakwah.
Maka menjadi kaya tidaklah penting jika ukurannya jumlah harta di dalam rekening. Kaya sejatinya ada pada hati, dan parameternya ada pada seberapa banyak harta yang kita manfaatkan di jalan Allah Ta’ala. [Pirman/Kisahikmah]