Di Balik Tangisan Umar bin Khattab Saat Perintahnya “Tak Ditaati” Abu Ubaidah bin Jarrah

0

Sebagai amirul mukminin, perintah Umar bin Khattab selalu ditaati oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun kali ini, Abu Ubaidah bin Jarrah tidak bisa memenuhi perintah sang khalifah.

Negeri Syam, wilayah yang dipercayakan kepada Abu Ubaidah sebagai gubernurnya, sedang terserang wabah sampar yang ganas. Sebelumnya, wilayah itu selalu dipenuhi keberhasilan dan kemenangan. Abu Ubaidah berhasil memperluasnya hingga Furat di bagian timur dan Turki di bagian utara.

Umar bin Khattab tak mau Abu Ubaidah tertular wabah tersebut. Maka ia pun menulis surat perintah: “Aku memiliki keperluan yang tak boleh engkau wakilkan kepada siapapun kecuali engkau sendiri yang mendampingiku di sini. Jika surat ini sampai di tanganmu pada malam hari, segeralah berangkat tanpa menunggu pagi. Dan jika surat ini sampai di tanganmu pada siang hari, segeralah berangkat tanpa menunggu malam tiba.”

Mendapat surat perintah tersebut, Abu Ubaidah tidak berangkat ke Madinah. Ia hanya mengirimkan sebuah surat jawaban. “Wahai Amirul Mukminin,” demikian isi surat tersebut dibaca oleh Umar bin Khattab, “aku telah memahami keperluan Anda. Namun aku sedang berada di tengah-tengah kaum muslimin yang sedang ditimpa malapetaka di Syam ini. Tak pantas bagiku menyelamatkan diri sendiri. Aku tak mau meninggalkan mereka hingga Allah menetapkan takdirNya atas diriku dan mereka. Jika surat ini sampai di tangan Anda, bebaskanlah aku dari perintahmu dan izinkan aku tetap tinggal di Syam ini.”

Usai membaca surat tersebut, Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu. Sebagian sahabat bertanya, “Apakah Abu Ubaidah wafat wahai Amirul Mukminin?”

“Tidak… namun kematian itu telah dekat kepadanya,” jawab Umar bin Khattab, masih dengan mata sembab. Basah oleh air mata.

Dugaan Umar benar. Tak lama setelah itu tersiar kabar bahwa Abu Ubaidah wafat tertular sampar.

Demikianlah contoh pemimpin Islam di masa lalu. Mereka sangat peduli dengan rakyatnya dan tidak mau meninggalkan mereka dalam kondisi menderita. Umar bin Khattab terkenal dengan prinsipnya: aku harus menjadi orang yang pertama lapar jika rakyatku kelaparan. Dan aku akan menjadi orang yang terakhir kenyang setelah seluruh rakyat merasa kenyang.

Abu Ubaidah juga demikian. Ia tak mau menyelamatkan dirinya sendiri sementara rakyatnya sedang dalam masalah menghadapi wabah. Meskipun beresiko tertular, ia terus membersamai mereka. Merawat dan melayani mereka. Hingga takdir Allah yang bicara, hingga ajal tiba.

Allahumma shalli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘aalihi wa ashaabihi ‘ajma’iin.
Ya Allah… sampaikan salawat atas Nabi kami Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya. [Muchlisin BK/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaKisah Pernikahan Pertama Ustadz M. Arifin Ilham
Artikel berikutnyaKubunuh Wanita Itu Karena Menolak Cintaku, Bisakah Aku Bertaubat?