Seorang raja Nashrani mengundang salah satu ulama kaum Muslimin yang bernama Abu Bakar al-Baqillani. Dia hendak menguji kecerdasan si ulama, ditandingkan dengan salah satu rahib terbaiknya. Oleh sang raja, momen ini dipersiapkan dengan baik. Harapannya, ulama kaum Muslimin akan datang dan pergi dengan menanggung malu.
Oleh sang raja, pintu istana dibuat setinggi setengah badan. Tujuannya, agar al-Baqillani masuk ke dalam istananya dengan menunduk. Mengetahui maksud si raja, sang ulama dengan cerdas membalikkan badan, melangkah mundur masuk melalui pintu tersebut. Sang raja kesal. Satu strateginya kalah telak.
Sesampainya di hadapan raja yang didampingi seorang rahib, sang ulama menyampaikan pertanyaan, “Dimana anakmu, wahai Rahib?”
Bagi seorang rahib, pertanyaan tersebut merupakan aib. Karena mereka mengklaim sebagai orang suci yang tak layak menyentuh wanita. Mereka mengharamkan diri dari menikah.
“Celakalah! Mengapa engkau bertanya demikian kepadaku?” bentak sang rahib. Marah.
“Engkau membantah mempunyai anak, tapi dengan mudahnya kau katakan bahwa Allah memiliki anak?” seketika itu juga, sang raja dan rahib diam. Keduanya kalah telah untuk kedua kali.
Tak lama berselang, sang rahib pun bertanya tentang fitnah bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah telah berzina dengan sahabat Shafwan bin Mu’aththal.
“Ummul Mukminin ‘Aisyah binti Abu Bakar adalah sama dengan Maryam binti ‘Imran. Keduanya orang suci. Ummul Mukminin ‘Aisyah bersuami dan tidak memiliki anak, tapi Maryam binti ‘Imran tidak bersuami dan memiliki anak. Jika tuduhan zina dialamatkan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah, tentu tuduhan itu lebih layak ditujukan kepada Maryam binti ‘Imran. Tapi Allah Ta’ala menjaga dan mensucikan keduanya.”
Dengan jawaban yang cerdas ini, seorang raja dan rahib Nashrani terbungkam untuk ketiga kalinya. Betapa mereka telah menutupi logikanya hingga memiliki keyakinan yang rancu dan berstandar ganda.
Argumen cerdas ini hendaknya dimiliki oleh para dai, ustadz, dan kaum Muslimin lainnya. Agar kebenaran bisa disampaikan dengan hikmah yang bisa menundukkan logika karena benar-benar logis.
Semoga Allah Ta’ala melimpahkan hidayah-Nya. Sebab jika mereka saja mengaku suci sehingga tidak menikah karena menikah menjadi jalan memiliki anak, mengapa tuhan mereka tuduh memiliki anak?
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]