Para Nabi dan Rasul senantiasa menyampaikan kepada umatnya bahwa dunia ini sangat sementara. Kehidupan akan berakhir pada kematian, lalu dilanjutkan dengan kehidupan abadi di akhirat yang bermula dari alam kubur. Mereka senantiasa menyeru umat manusia untuk beriman kepada Allah Ta’ala dengan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya sesembahan yang tiada disekutukan dengan sesuatu apa pun.
Sayangnya, banyak kaum yang menolak seruan dakwah para Nabi dan Rasu-rasul Allah Ta’ala. Kebanyakan mereka menolak seruan itu karena mengikuti kepercayaan nenek moyangnya yang menganggap bahwa dunia adalah kehidupan abadi dan akhirat hanyalah dongeng tiada mutu.
Saking ingkarnya, banyak di antara orang-orang kafir, musyrik, dan munafiq yang menantang kepada Allah Ta’ala agar segera didatangkan adzab. Sombong. Dan ketika adzab itu benar-benar diturunkan, mereka tak sedikit pun bisa mengelak. Dalam sekejap, mereka hancur bersama peradabannya kala itu.
Akan tetapi, orang-orang beriman tidaklah bersikap demikian. Mereka meyakini kesementaraan hidup dan keabadian akhirat yang amat pasti. Mereka pun bergegas menebalkan iman, menimbun pahala amal shalih, dan senantiasa istiqamah di dalamnya sebagai bentuk mengumpulkan bekal untuk akhirat yang abadi.
Mereka ini, persis seperti perkataan Ibnu Athailah as-Sakandari tentang orang-orang yang berhasil menyingkat perjalanan hakiki ke akhirat. Mereka masih hidup di dunia, tapi ambisi positifnya sudah berada di akhirat yang abadi. Mereka seperti melihat surga dan orang-orang yang mendapatkan nikmat di dalamnya, dan seperti menyaksikan neraka beserta orang-orang yang mengenyam siksa di lembahnya.
الطي الحقيقي ان تطو ى مسافةالدنياعنك حتى ترى الاخرةاقرب اليك منك
(Ath-thoyyu al-haqiqiyyu an tuthwaa masaafatu ad-dunya ‘anka hatta tara al-akhirata aqraba ilaika minka)
“Perjalanan hakiki akan menjadi singkat,” demikian petuah Ibnu Athailah as-Sakandari dalam al-Hikam, “tatkala engkau melipat jarak dunia darimu. Sehingga engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu ketimbang dirimu sendiri.”
Ketika seseorang mampu membayangkan akhirat dengan surga dan nerakanya, mungkinkah ia akan menjalani hidup dalam kesia-siaan, dosa, dan gelimang maksiat?
Andai seorang hamba melihat dekatnya akhirat, bukankah mereka akan senantiasa bergegas mengumpulkan sebanyak-banyaknya bekal guna menjalani kehidupan berat nan panjang di dalamnya?
Mungkinkah seorang hamba yang mengetahui remehnya dunia akan berhasrat mengumpulkan berbagai jenis pernak perniknya?
Mirisnya, banyak yang mengejar dunia, padahal dunia berlari meninggalkannya. Dan, mereka berlari dari akhirat, padahal akhirat mengejar dan pasti mendapatinya. Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]