Dusta merupakan salah satu perangai buruk dan termasuk dosa besar. Bisa berupa keyakinan, ucapan, atau tindakan. Bisa salah satu, gabungan kedua atau ketiganya. Dusta memiliki tingkatan. Tapi serendah-rendahnya dusta pun termasuk dalam golongan dosa besar.
Dusta terlarang baik dengan berguarau atau serius. Ketika dusta menjadi gurauan, cepat atau lambat akan menjadi kenyataan. Ketika dilakukan berulang kali, dusta yang mulanya gurauan amat mungkin menjadi kebiasaan hingga pelakunya layak dijuluki pendusta.
Akan tetapi, ada satu perbuatan yang disebutkan dalam hadits sebagai seburuk-buruk dusta. Perbuatan ini merupakan satu di antara sekian puncaknya dusta. Sayangnya, banyak yang terjerumus dan menikmati perbuatan in hingga menjadi kebiasaan di dalam hidupnya.
Pelakunya senantiasa merasa kurang ketika belum melakukannya. Na’udzubillahi min dzalik.
“Jauhilah prasangka (buruk)!” seru Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sebagaimana disepakati keshahihannya secara muttafaq ‘alaihi, “karena prasangka (buruk) merupakan perkataan yang paling dusta.”
Di akhir zaman ini, kita digempur tayangan-tayangan dan perbincangan yang mengarah pada buruk sangka kepada sesama manusia dan kaum Muslimin. Acara-acara ghibah yang dipoles menjadi gosip terkini menjamur dimana-mana.
Sejauh apa pun kita berlari, sejauh itu pula kita dikejar. Kemana pun kita menghindar, ke arah itu pula kita diburu. Hampir saja, kita tidak menemui tempat berlindung. Bahkan rumah dan perangkat-perangkat teknologi kita ikut terjajah.
Sebagai satu kaidah penting terkait larangan berprasangka buruk ini, kita dianjurkan untuk melihat lahiriyah saja. Kita harus mempercayai kesaksian dan apa yang bisa diindra. Kita dilarang menebak-nebak yang ada di dalam hati, sebab urusan hati hanya diketahui oleh Allah Ta’ala.
Sebaliknya, saat ada orang yang menunjukkan kejahatan, meski dia mengaku sebagai pembawa kebaikan, kewajiban kita adalah menghindar dan menjauhinya. Jangan sekali pun mendekat dengan dalih apa pun, apalagi hanya berdasarkan perasaan.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati; semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra’ [17]: 36)
Gunakan indra. Kesampingkan perasaan buruk. Jika pun hendak gunakan hati, bersikap pekalah. Sebab memang, hati tak bisa dibohongi. Ia mengetahui baik atau buruk, tapi bukan dengan berprasangka tanpa dalil.
Wallahu a’lam. [Pirman/Kisahikmah]