Sepasang pengantin baru berencana pindah kontrakan. Kontrakan yang mereka tempati sejak malam pertama kurang nyaman. Aliran pembuangan air sering mampet, udaranya pengab. Pindah menjadi pilihan logis ketika membeli rumah belum memungkinkan.
Dalam perjalanan pencarian, terbacalah sebuah tulisan di kertas putih yang tertempel di pintu sebuah bangunan. Keduanya langsung menghubungi nomor kontak yang tersedia, lalu janjian untuk bertemu.
“Bu, kontrakan kosong?”
“Iya,”
“Satu bulan berapa?”
“Sembilan ratus ribu,”
“Baik, Bu. Nanti saya kabarin lagi ya.”
Ternyata, ibu kontrakan tersebut tetangga dekat orang tua dua dari istri sepasang pengantin baru itu. Keduanya saling kenal, tempat tinggal berdekatan, meski jarang berinteraksi karena kesibukan masing-masing, khas kehidupan perkotaan.
***
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam.”
Tuan rumah melihat ke arah pintu. Yang bertamu adalah ibu kontrakan.
“Bu, maaf. Anaknya jadi ngontrak di tempat saya atau tidak ya?”
“Oh, emang anak saya belum menghubungi ibu lagi?”
“Belum, Bu.”
“Baik, Bu. Nanti saya tanyakan ya. Tunggu sebentar.”
“Gini, Bu. Tanyain saja. Kalau jadi ya segera bayar. Kalau belum, segera bilang. Karena sudah ada yang nanyain.”
Ibu kontrakan langsung pamit.
***
Dialog selayak itu disampaikan berkali-kali oleh ibu kontrakan. Meski berniat mengingatkan, karena terlalu sering, rasanya lebih dekat kepada menuntut.
Akhirnya, sepasang pengantin baru ini sepakat mengambil keputusan.
“Bu, tolong suruh Adik ke Ibu Kontrakan. Kita tidak jadi ngontrak di sana.”
***
Si Adik mendatangi rumah ibu kontrakan. Menyampaikan klarifikasi.
“Sudah Adik bilangin. Ibu Kontrakannya judes dan cemberut setelah Adik ngomong gak jadi ngontrak.”
***
Berselang pekan kemudian, kontrakan itu masih kosong. Belum ada tanda-tanda akan dihuni oleh siapa pun. Pintu dan jendelanya masih tertutup. Lantainya tetap berdebu. Tulisan ‘DIKONTRAKAN’ masih rapi terpajang di atas sebuah kertas putih yang ditempelkan di pintu kayu kontrakan.
***
Sebelum memutuskan membatalkan mengontrak di tempat itu, sepasang pengantin tersebut bertutur kepada ibunya, “Kok gitu amat ya, Bu? Belum juga kita ngontrak kok sudah ditanyain bayaran kontrakan. Gimana kalau nanti sudah jadi ngontrak? Takut ah.”
Dan nyatanya, Ibu Kontrakan berbohong dengan mengatakan, “Sudah mau ada yang menempati, tapi saya tolak agar bisa ditempati anak ibu.”
Jangan berbohong. Karena tiada hasil atas suatu kebohongan, melainkan keburukan yang berlipat-lipat. [Pirman/Kisahikmah]