Bertumpuk Jemu di Medan Juang

0

Lelah masih menggelayut, tapi aku memaksa kaki, diri, dan hati ini untuk terus berjalan menyusuri gili. Setelah berkeliling ke pasar, lapangan, pusat hiburan, dan berbagai tempat lain, dan tak kujumpai apa yang kucari, tempat sakral inilah yang kupilih untuk jadi labuhan terakhir; Masjid.

Kabarnya, di tempat ini terdapat banyak sekali orang-orang shalih yang suci hatinya. Selain pakaiannya yang serbaputih, hati mereka pun sebening salju, selembut krim, bersih tanpa noda. Orang-orang yang saban hari mondar-mandir pulang-pergi ke tempat ini juga dikabarkan piawai menggamit hati siapa pun yang dijumpai, bahkan kepada mereka yang mulanya memusuhi tanpa alasan yang bermakna.

Benarlah, ketika indra penciumanku baru merasakan aromanya, ada getaran hening yang merasuk ke dalan sanubariku. Amat berbeda dengan aura lokasi-lokasi yang kusambangi sebelumnya, di tempat ini ada aura magis yang kuasa bangkitkan gairah kebaikan. Menakjubkan!

Saat jarak antara badanku dengan bangunan yang menghadap ke sebuah tempat suci bernama Kiblat, aura positif di hatiku makin melimpah hingga hampir tumpah. Tak terbendung. Aura itu pun meramu efektif bersama haru yang mendesak-desak ke dalam hatiku hingga mata tergerak tuk alirkan butiran beningnya. Entah, ini tetes sesal sebab jarang datang, atau lainnya. Aku terkesima hingga tak tahu apa maknanya.

Namun,

Sepanjang mata memandang, di bangunan sejuk meski tanpa pendingin ini tak kujumpai sosok muda nan gagah. Hanya ada orang-orang paruh baya yang terlihat ‘menganggur’, atau laki-laki jompo yang tak kuasa lagi ‘puaskan’pasangannya. Ah, aku benar-benar tak paham dengan diriku. Bahkan prasangka buruk sanggup merasuk ke hati tatkala baru menginjakkan telapak kaki di lantainya yang bersih dan suci.

Tapi. Sungguh! Aku tak dapati semangat dalam diri mereka. Aku benar-benar tak tahu. Apakah mereka tak memiliki anak-anak laki-laki yang gagah fisik dan perkasa badan untuk diajak menyertai? Ataukah mereka tak miliki cucu-cucu jejaka yang pesona fisiknya bercampur padu dengan aura ruhani nan menggerakkan sesamanya?

Atau, jangan-jangan, istri-istri mereka yang tak kuasa lagi lahirkan pahlawan sejati selayak Khalid bin Walid yang berjuluk Pedang Allah Yang Terhunus? Ataukah anak-anak mereka, remajanya, pemudanya, dan siapa pun yang berstatus laki-laki di masyarakatnya sudah menjadi seperti ungkapan Sayyid Quthb, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”

Aduhai tumpukan jemu di medan juang, enyahlah! [Pirman/Kisahikmah]

Artikel sebelumnyaInilah Kalimat yang Tertulis di Atas ‘Arsy Allah
Artikel berikutnyaKeberanian Para Sahabat Nabi