Kita hidup di zaman akhir. Kini, teladan kebaikan itu seakan sirna, tanpa sedikit pun bekas. Apalagi, ketika fokus diri tak lagi ada dalam lembaran kalam suci al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Sebab, hanya melalui keduanyalah kita bisa mendapati teladan terbaik dalam menjalani hidup yang memang tak lama ini.
Siapa pun kita, pastilah pernah berinteraksi dengan anak-anak. Baik sebagai orang yang usianya lebih tua, sebagai guru dengan murid, ataupun sebagai orangtua dengan anak-anaknya. Guna mengilmui bagaimana sebaiknya kita berinteraksi dengan anak-anak ini, mari saksami bagaimana Nabi yang mulia dalam berinteraksi dengan anak-anak kala itu.
Adalah sahabat Abu Hurairah menyampaikan kepada kita. Beliau berkata, “Rasulullah Saw mencium Hasan bin ‘Ali.” Yang dicium adalah sang cucu yang amat dicintainya. Ketika itu, tepat di samping beliau terdapatlah sosok al-Aqra’ bin Habits at-Tamimi. Beliau ini memiliki sepuluh orang anak. Anehnya, saat melihat perlakuan Rasulullah Saw itu, ia bingung. Kemudian berkata, “Anakku sepuluh. Tapi, aku tak pernah mencium satu pun diantara mereka.”
Jadi, ketika zaman kita ini banyak orangtua yang lupa mengejawantahkan cinta kepada anak-anaknya melalui pelukan, belaian, perhatian dan ciuman, ternyata di zaman Rasul pun pernah ada sosok yang berperilaku serupa itu.
Lantas, Rasulullah Saw pun memandang al-Aqra’. Tak lama kemudian, beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi,” maksud beliau, mencium anak adalah salah satu ekspresi cinta yang amat besar bekasnya dalam diri, pikiran dan jiwa sang anak. Apalagi jika dilakukan sesering dan setulus mungkin.
Ketika seseorang, apalagi orangtua kepada anaknya, tidak menyayangi sesamanya, maka lanjut sang Nabi, “maka ia juga tidak akan disayangi.”
Mari berhenti sejenak. Barangkali, ini adalah tamparan keras bagi kita selaku orangtua. Jika selama ini anak-anak tak menyayangi kita, mungkin karena sayang yang kita berikan belum seperti yang Nabi contohkan ataupun anjurkan. Sehingga, tak disayanginya kita sebagai orangtua adalah akibat dari tidak sayangnya kta kepada anak.
Maka selepas ini, mari datangi orang-orang yang kita sayangi. Jika keberadaannya jauh, bisalah kita eja dalam doa. Ketika dekat, mungkin perlu bagi diri untuk menerawang ke dalam sanubari terdalam. Mungkin saja, cinta yang selama ini telah kita berikan tak cukup tulus untuk menyentuh hati mereka. Sehingga, diri ini merasa tak mendapatkan sayang nan setara. Bukankah kecintaan yang tulus adalah sayang tak berharap balas? [Pirman]